Senin, 27 September 2010

PETA SPEKTRAL KEANEKARAGAMAN HAYATI

Luas hutan Indonesia sekitar 130 juta hektare, diantaranya berupa hutan mangrove dengan luas 7.758.410.  Pada 2010, telah dideklarasikan Tahun Internasional Keanekaragaman Hayati yang ditandai dengan digelarnya pertemuan COP 10 (Conference of Parties Convention)-UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) on Biological Diversity di Nagoya Jepang tanggal 18-29 Oktober 2010.   Adapun keanekaragaman hayati dunia (megabiodiversity country) di wilayah Indonesia menduduki peringkat nomor dua di dunia setelah Brasil.
Mengutip informasi Menteri Kehutanan di salah satu media nasional (8 Juni 2010), hutan Indonesia mencakup luasan sekitar 130 juta hektare, termasuk hutan mangrove dengan luas 7.758.410 hektare. Lebih jauh, 43 juta hektare dalam kondisi baik
dan sisanya telah beralih fungsi menjadi areal tambang, hutan produksi, dan sebagian dicadangkan menjadi hutan tanaman cadangan pangan dan energi (HTCPE). Kondisi yang benar-benar rusak sekitar 40 juta hektare. Perhatian khusus harus dicurahkan kepada kondisi hutan yang rusak tersebut, karena bila tidak ada upaya pencegahan yang nyata dari eksploitasi yang masif, akan berdampak pada kepunahan aset keanekaragaman hayati.
Pada 2010, telah dideklarasikan Tahun Internasional Keanekaragaman Hayati, ditandai dengan digelarnya pertemuan COP 10 (Conference of Parties Convention)-UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) on Biological Diversity di Nagoya, Jepang, 18-29 Oktober 2010. Tema yang diusung ialah Many species, one planet, one future atau Keanekaragaman hayati, masa depan bumi kita. Sebagai bangsa yang diberi karunia dengan limpahan keanekaragaman hayati yang begitu luar biasa, peran apa yang bisa kita lakukan dalam merespons pertemuan tersebut?
Amanah kepada Indonesia untuk menjaga keanekaragaman hayati semakin besar, mengingat posisi penting dengan aset hutan hujan tropis dalam peta keanekaragaman hayati dunia (megabiodiversity country) menduduki peringkat nomor dua di dunia setelah Brasil. Aset keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia saat ini sangat strategis, karena sangat terkait dengan fungsi sebagai bank genetika, pangan (nutrisi), sandang, papan, bahan obat, bahan kosmetik, pengetahuan, dan nilai budaya.
Namun, sering kita berpikir sesungguhnya seberapa luas dan besarkah aset keanekaragaman yang dimiliki Indonesia? Seberapa kayakah Indonesia dengan aset keanekaragaman yang ada? Di mana saja aset keanekaragaman Indonesia berada? Sampai kapankah keanekaragaman hayati tersebut akan tetap ada di bumi Indonesia? Seberapa rentan terhadap kepunahan akibat eksploitasi manusia? Pun, seberapa kuatkah posisi tawar kita di mata negara-negara lain dengan aset keanekaragaman hayati yang begitu berlimpah? Semua pertanyaan yang muncul secara kuantitatif sangat terkait dengan aspek keruangan dan waktu (spacio-temporal) objek keanekaragaman hayati.
Bilamana menengok ke belakang, selama ini masih terbatas institusi yang berperan dalam menghimpun angka-angka statistik tentang keanekaragaman hayati mulai tingkat nasional sampai daerah, kecuali hanya institusi yang mempunyai kaitan langsung. Sejauh ini, informasi yang diperoleh pun belum menggambarkan informasi yang cukup akurat secara spasial dan temporal. Apabila tidak dimulai dari saat ini, entah kapan kita bisa mendapatkan informasi yang akurat tentang peta keanekaragaman hayati kita.
Teknologi dan tools apa yang bisa membantu untuk menghimpun dan menganalisis informasi statistik, spasial, dan temporal keanekaragaman hayati?
Sejak 1972, sistem pengindraan jauh telah berkembang daripada pengindraan jauh multispektral (multispectral band) sampai pengindraan jauh hiperspektral (hyperspectral band). Integrasi informasi dari kanal multispektral dan hiperspektral dalam mendeteksi nilai spektral objek secara spacio-temporal telah memperkaya informasi nilai sensitivitas objek tanaman. Kanal (band) hiperspektral berkisar dari panjang gelombang tampak mata (visible light; 350 nm) sampai inframerah (inrared; 2500 nm). Informasi dini dari ekstraksi data lapangan dan satelit pengindraan jauh (multispektral dan hiperspektral) merupakan basis dalam monitoring dan prediksi kelimpahan keanekaragaman hayati. Hal ini nyata apabila didukung kemampuan multidiagnosis dini, cepat, dan akurat, yang mampu menyajikan informasi terkini tentang kondisi tanaman secara spacio-temporal.
Terkait dengan hal tersebut, saat ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) tengah menginisiasi metode multistage biodiversity sensing initiative untuk menginventarisasi, memetakan, memprediksi, dan melakukan valuasi ekonomi secara kuantitatif terhadap limpahan keanekaragaman hayati (integrasi pengukuran lapangan dan analisis data satelit melalui 'sidik jari' spektral).
Sidik jari spektral tanaman
Diagnosis 'sidik jari' spektral berbagai tanaman (vegetasi) kategori langka dalam perspektif keanekaragaman hayati yang ada di kawasan hutan hujan tropis dilakukan untuk mengindra status terkini dan limpahan tanaman tersebut melalui pembangunan atribut tanaman berupa pustaka spektral (spectral library) tanaman. Untuk menjejak objek tanaman keanekaragaman hayati dalam hamparan yang luas dengan data satelit, atribut setiap jenis tanaman dapat diklasifikasi berdasarkan ciri spektralnya. Integrasi penjejakan di lapangan langsung (in-situ) dengan analisis spektral data satelit diarahkan untuk monitoring dan predikasi kelimpahan tanaman keanekaragaman hayati.
Pustaka spektral yang terbangun merupakan aset dan investasi yang luar biasa untuk pengembangan sistem monitoring, prediksi distribusi, dan prediksi kelimpahan tanaman keanekaragaman hayati yang dikonservasi. Prototipe sistem tersebut merupakan sistem berbasis teknologi hiperspektral dan merupakan state of the art sistem ini. Prototipe ini sangat potensial diterapkan secara operasional di Indonesia untuk merealisasikan peta spektral keanekaragaman hayati nasional.
Pustaka spektral yang sudah terbangun sebagian selama ini sudah mencakup objek terumbu karang di Kepulauan Tanimbar, Banten, dan Kepulauan Seribu, tanaman pangan padi di sentra padi Jawa Barat dan Serang, tanaman buah, tanaman obat, rempah, dan tanaman hutan. Ke depan secara bertahap dan terukur, sidik jari spectral tersebut akan terus diperkaya dengan jenis objek lainnya.
Bila diselisik lebih jauh, informasi dari peta spektral secara signifikan merekomendasikan kebijakan keanekaragaman hayati nasional terkait dengan fungsi tanaman hutan sebagai bank genetika, pangan, sandang, papan, bahan obat, bahan kosmetik, pengetahuan dan nilai budaya, apakah itu melalui strategi inventarisasi maupun proteksi, melalui implementasi regulasi yang ketat. Rekomendasi tersebut merupakan basis dalam mengevaluasi program penguatan ketahanan pangan, obat-obatan, dan energi di seluruh wilayah Indonesia.
Pertemuan-pertemuan COP-UNFCCC selama ini banyak mendiskusikan manfaat keanekaragaman hayati dari program pengurangan emisi karbon dari Deforestation and Forest Degradation in Developing Countries (REDD-plus) dan aktivitas manajemen lahan yang berkelanjutan untuk tujuan mitigasi perubahan iklim. Sebagaimana yang banyak diketahui publik saat ini bahwa program REDD-plus dan pelaporan neraca karbon melalui mekanisme MRV (measurement reporting verification) diarahkan, salah satunya, untuk mencegah laju kepunahan keanekaragaman hayati dunia.
Selaras dengan hal tersebut di atas, program-program yang tengah digarap Pusat Teknologi Inventarisasi Sumber Daya Alam BPPT selalu berorientasi pada inventarisasi objek-objek sumber daya alam, termasuk juga komponen keanekaragaman hayati, seperti hutan dan ekosistemnya. Dengan dukungan teknologi dan tools yang dimiliki, informasi keanekaragaman hayati ini dibangun menjadi data dasar melalui proses karakterisasi, pemodelan limpahan, dan pemodelan proyeksi keanekaragaman hayati Indonesia ke depan. Dari perspektif valuasi ekonomi, setiap objek keanekaragaman hayati potensial dianalisis secara khusus untuk mendapatkan gambaran kuantitatif tentang aset konservasi yang bernilai ekonomi tersebut.
Dimensi kesejahteraan
Sukses program REDD-plus dari perspektif keanekaragaman hayati memerlukan biodiversity strategy initiative di tingkat nasional dan daerah. Di samping itu, perlu penguatan lembaga dan secara teknis perlu peningkatan tools spasial yang mampu melakukan overlay pada skala berbeda untuk carbon storage dan keanekaragaman hayati saat ini dan ke depan. Indonesia harus bertindak cerdas dan strategis untuk memanfaatkan secara proporsional dan berkelanjutan harta kekayaan megabiodiversity nasional. Dengan pengelolaan secara proporsional dan berkelanjutan tersebut, dimensi kesejahteraan untuk rakyat bisa diraih dari manfaat hutan sebagai sumber genetika, sandang dan pangan, energi, obat-obatan, pengetahuan, dan budaya. Hal ini sangat terkait erat dengan 'posisi tawar' Indonesia yang kuat dalam forum internasional. Bilamana semua mampu diimplementasikan dengan benar, adalah sesuatu yang sangat mungkin kesejahteraan bangsa ini berada dalam genggaman bangsa kita.
Keterangan gambar : ilustrasi yang diambil dari internet

Sumber bacaan : Mediaindonesia.com, 22 September 2010. Oleh Muhammad Evri, Perekayasa BPPT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar