Negara sedang demam
dan flu. Sama dengan manusia, demam disebabkan oleh virus saat daya tahan tubuh
melemah. Gejalanya adalah penurunon kurs rupiah dan Indeks Harga Saham
Gabungan.
Oleh : M Jusuf Kalla - Wakil Presiden Tahun 2004-2009; Praktisi Bisnis
Ekonomi Indonesia
terkena imbas pengaruh luar saat kondisi ekonomi nasional sedang lemah. Krisis
ekonomi Eropa dan Amerika menurunkan permintaan komoditas Indonesia. Ekspor ke Eropa, China, dan India menurun
nilai dan volumenya sejak tahun 2012.
Penurunan ekspor
menyebabkan pendapatan pengusaha dan masyarakat turun serta berdampak penurunan
pajak. Di lain pihak, impor tetap naik karena
kenaikan permintaan BBM dan barang modal untuk investasi. Akibatnya,
defisit perdagangan mencapai 6 miliar dollar AS untuk Januari-Juli 2013, dengan
defisit neraca pembayaran hampir 10 miliar dollar AS.
Kebijakan dalam
negeri yang populis, dengan tidak mengurangi subsidi BBM walaupun harga minyak
mentah sudah di atas 100 dollar AS/barrel sejak tahun 2010, membuat subsidi
mencapai lebih dari Rp 300 triliun per tahun. Pemerintah tidak mampu membangun
infrastruktur dan justru menyebabkan defisit APBN yang besar karena impor BBM
menggerus devisa. Dalam kondisi yang sulit ini, biaya rutin negara dalam APBN
2013 dan 2014, khususnya biaya pegawai, bunga, dan cicilan utang, tetap saja
tinggi. Peluang melaksanakan pembangunan
semakin kecil.
Situasi ini
mengkhawatirkan pengusaha yang akhirnya kurang percaya terhadap rupiah. Kurs tembus Rp 11.000 per dollar
AS, apalagi secara bersamaan Fed AS akan mengurangi stimulus dana murah karena
ekonomi Amerika mulai membaik
Tidak mudah
Penyelesaian setiap
krisis tidak ada yang mudah, seperti minum obat pahit atau menjalani operasi,
tetapi yang terpenting adalah belajar dari krisis agar kita tidak terperosok di
lubang yang sama. Kita pernah krisis hebat tahun 1997-1998 yang memaksa pemerintah
menerbitkan rekap-bond Rp 650 triliun dan kita harus membayar cicilan dan bunga
hingga 20 tahun ke depan. Krisis tahun 2008 berskala lebih kecil dan bisa
diatasi, kecuali bagi korban skandal Bank Century.
Krisis dengan
solusi yang keliru sama dengan memberi pasien obat yang salah atau malapraktik,
akibatnya fatal. Kebijakan yang keliru menyebabkan krisis tahun 1997 menjadi
yang terparah di Asia Tenggara.
Yang pertama, upaya
mengatasi inflasi dengan menaikkan bunga sesuai dengan saran IMF justru
berdampak buruk. Bunga Bank Indonesia yang naik terus justru mendorong
inflasi karena biaya
ekonomi naik dan
produksi turun. Tahun 1998, BI Rate mencapai 60 persen dan inflasi melambung
pada tingkat 77 persen. Pemilik deposito makin kaya, yang miskin makin susah.
Situasi makin parah dengan pertumbuhan ekonomi negatif 15 persen.
Yang kedua dan paling
fatal adalah kebijakan blanket guarantee : pemerintah menjamin semua
dana nasabah di bank Ini menyebabkan penyelewengan besar-besaran. Banyak bankir
sengaja membangkrutkan banknya karena dijamin penuh oleh pemerintah. Ini
meninggatkan beban Rp 650 triliun, yang bunga dan cicilannya harus dibayar anak
cucu kita.
Selain saran keliru
IMF, upaya juga berlebihan untuk menjaga rupiah. Padahal, rupiah tidak ke
mana-mana karena tidak laku diperdagangkan di luar negeri. Rupiah hanya pindah
dari bank ke bank dalam negeri karena bunga tinggi.
Tahun 2008,
kebijakan blanket guarantee saya tolak keras walaupun didesak oleh Menko
Perekonomian/Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia serta dunia usaha,
khususnya perbankan. Pendirian saya jelas, kenapa Pemerintah
Indonesia yang sedang kesulitan harus menjamin bank-bank asing, bank campuran
milik investor dari Singapura/Malaysia, serta bank nasional yang kaya?
Selain jaminan oleh Lembaga Penjamin Simpanan, pemegang saham dari bank
tersebut seharusnya ikut bertanggung jawab. Untuk bank BUMN, karena pemegang
saham adalah negara, negara turut bertanggung jawab.
Dengan sikap
tersebut, disertai penghematan anggaran dan pengurangan subsidi BBM melalui
konversi minyak tanah ke LPG dan menaikkan harga BBM pada Mei 2008 serta aturan
monitoring devisa membuat kita dapat melalui krisis 2008 dengan baik. Hanya
saja, tanpa sepengetahuan saya, Bank Century di-bail out tanpa dasar jelas.
Belajar dari krisis
1998 dan 2008, ada langkah-langkah yang harus kita tempuh.
Pertama, meningkatkan efisiensi.
Terkait penyebab
eksternal berupa imbas krisis Eropa dan Amerika Serikat, kita tidak bisa
berbuat banyak Yang bisa kita lakukan adalah menjaga efisiensi dalam negeri
dan menjaga pasar yang ada, baik pasar ekspor maupun domestik
Kedua, mengatasi defisit perdagangan.
Meningkatkan ekspor
tidak mudah dalam pasar yang sempit dan kompetitif. Fokus kita tidak pada
bagaimana menjual barang, tetapi juga bagaimana penerimaan pembayaran dikelola
dengan benar karena yang defisit adalah devisa. Selama ini ekspor berjalan,
tetapi devisa disimpan di luar negeri. Kewajiban ekspor natural resources
dengan L/C harus diperlakukan agar devisa masuk ke BI, seperti telah disetujui
tahun 2008 yang kemudian dibatalkan Menteri Perdagangan. Monitoring devisa keluar harus diperketat,
seperti di Singapura, Malaysia, dan Amerika Serikat. Ini untuk memperbaiki
neraca pembayaran dan hasil pajak
Kurangi impor
Kita perlu
mengurangi impor produk yang sebenarnya bisa kita produksi. Kita masih impor pangan, tekstil, hasil
industri, dan BBM. Produktivitas harus ditingkatkan dan konsunisi
diprioritaskan untuk produksi dalam negeri. Pengalaman 2008/2009 menunjukkan
bahwa kita bisa swasembada beras.
Selain itu, perlu
diselesaikan segera sejumlah proyek listrik 10.000 megawatt yang sudah
terlambat tiga tahun. Program ini sebenarnya mudah, tetapi sayang tidak
dijalankan serius dan sejumlah pihak takut mengambil keputusan. Jika ini
terwujud, akan mengurangi impor BBM dan subsidi sewa diesel yang mahal.
Selanjutnya, perlu segera didorong proyek listrik 10.000 megawatt tahap kedua
agar tiga tahun lagi Indonesia masih benderang.
Begitu pula terkait
dengan perizinan. Birokrasi kita masih rumit dan lamban, artinya biaya
tinggi. Izin di kementerian dan urusan membangun listrik butuh waktu lama dan
bertele-tele, padahal pengeluaran untuk subsidi sudah meneekik.
Untuk mengurangi
defisit APBN yang bisa melebihi batas 3 persen GDP, tidak ada cara selain menghemat
dan mengurangi biaya rutin negara berupa belanja barang dan modal yang
tidak perlu seperti membangun kantor-kantor pemerintah baru dan perjalanan. Pembangunan
sekolah, rumah sakit, dan
infrastruktur harus jalan terus.
Ketiga, mengurangi
subsidi energi (BBM dan
listrik) dengan penyesuaian harga lagi.
Walaupun Juni lalu
sudah naik, kenaikan itu belum cukup
mengurangi defisit. Tahun 2005, BBM naik dua kali baru stabil. Memang akan
berdampak pada tingkat inflasi, tetapi hanya sementara.
Semua upaya penghematan
harus diwujudkan, bukan dipidatokan.
Memperbaiki defisit
perdagangan dan APBN akan otomatis memperbaiki neraca pembayaran karena
kepercayaan dunia usaha akan baik. Pemerintah sudah mengeluarkan paket
kebijakan bulan lalu, itu belum cukup, apalagi kalau hanya bersifat imbauan dan
kebijakan moneter.
Beberapa kebijakan
moneter kemungkinan justru akan berdampak negatif. Upaya menaikkan BI Rate,
seperti pengalaman 1998, bunga dan inflasi kejar-kejaran ke atas. Begitu pula
buy back saham, justru akan mendorong investor asing menjual saham. Buat apa
melindungi investor asing di bisnis yang memang penuh risiko. Jika BUMN kelebihan cash, lebih baik
diinvestasikan ke sektor nil. Lebih baik melindungi produsen tempe daripada
investor pasar saham.
Kita tidak perlu
bersikap seakan pasar saham adalah segalanya seperti pandangan orang Singapura
dan Hongkong. Faktanya, kapitalisasi saham di Singapura mencapai 120 persen
GDP, di Indonesia hanya 35 persen, 75 persen milik asing.
Melemahnya kurs
rupiah mengakibatkan ada pihak yang rugi dan ada juga yang untung. Bagi
eksportir atau daerah penghasil komoditas ekspor, justru akan naik
pendapatannya dalam rupiah sehingga makin menyejahterakan. Bagi mereka dengan
pendapatan tetap dalam rupiah, pendapatan riil akan turun karena inflasi.
Kenaikan BI Rate
juga akan mendorong fund manager asing masuk ke SBI, yang bunganya dibayar dan
dijamin Bl/negara, untuk apa? Kalau dana SBI Rp 300 triliun dan kita harus
membayar bunga tanpa bisa digunakan, sama saja kita dikuras.
Begitu pula pikiran
dari beberapa pejabat bahwa krisis ini dapat diatasi dengan meningkatkan
konsumsi. Hanya satu negara yang bisa melakukan, yaitu Amerika Serikat, karena
bisa mencetak dollar untuk membeli barang dari luar. Di Indonesia, harus ada
pendapatan baru konsumsi.
Belajar dari pengalaman,
dalam setiap krisis yang harus diobati adalah penyebab bukan gejalanya serta
obat yang paling tepat adalah peningkatan produktivitas dan penghematan. Semua
perlu pengorbanan. Memberi obat yang keliru akan sangat berbahaya dan kita
sudah belajar itu saat krisis tahun 1998.
Keterangan
gambar : diambil dari internet
Sumber : tulisan pada Kompas tgl. 23 September
2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar