Kamis, 07 Februari 2013

Kasus Korupsi : Sebelas Binatang di Panggung Politik Kita


Setelah reformasi, panggung politik kita jadi panggung binatang.
Oleh : Wisnu Nugroho


Di antara semua binatang, tikus paling populer dalam perjalanan politik Indonesia. Meskipun paling populer, popularitas tikus tidak stabil juga. Mirip-mirip popula­ritas politisi dan partai politik. Kadang turun, kadang naik.
Kita bersyukur ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ,yang dibentuk Desember 2003 berdasarkan UU No 30/2002. Karena KPK, popularitas tikus di panggung politik terjaga. Korupsi lantas identik dengan kelakuan tikus-tikus. Koruptornya identik dengan tikus.
Analogi yang masuk akal meskipun kerap merendahkan derajat tikus. Coba kita tengok. Sama-sama mencuri, tikus mencuri untuk bertahan hidup, sedangkan koruptor karena serakah. Sama-sama ada di sekitar kita, kelihaian tikus bersembunyi alamiah. Sementara kelihai­an koruptor bersembunyi kare­na banyak pelindungnya.
Untuk urusan tikus ini, Istana Kepresidenan, Jakarta, merasa perlu menyewa jasa perusahaan global yang punya cabang di lebih dari 50 negara untuk membersihkan Istana. Hasilnya lumayan. Kabel-kabel pelantang untuk Presiden Yudhoyono berpidato tak lagi dimakan tikus sejak 2005.
Popularitas tikus sempat tu­run juga. Pertengahan 2009, ci­cak dan buaya menggusurnya. Cicak diibaratkan sebagai pihak lemah tak berdaya, sedangkan buaya adalah pemegang kuasa. Cicak lawan buaya adalah analogi KPK lawan Polri. Komjen Susno Duadji mengatakan, "Cicak, kok, melawan buaya"
Tidak bertahan lama, cicak dan buaya digusur gurita. Pemicunya buku George Junus Aditjondro berjudul Gurita Cikeas, akhir 2009. Meski minim data pendukung, buku ini menimbulkan kegaduhan. Gurita lalu "manggung" di mana-mana.
Awal tahun 2010, gurita di­gusur kerbau saat dibawa berunjuk rasa untuk peringatan 100 hari periode kedua Presiden Yudhoyono di depan Istana Merdeka. Terkait unjuk rasa itu, Presiden Yudhoyono mempertanyakan kepantasannya.
Di antara binatang-binatang musiman itu, tikus masih popu­ler. Popularitas tikus terkait kerja KPK yang tak pernah surut karena tantangannya. Untuk kerja KPK itu, binatang baru yang tampil ke panggung politik adalah sapi. Popularitas sapi meroket bersamaan dengan penetapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi Hasan Ishaaq sebagai tersangka dugaan suap impor daging sapi oleh KPK.
PKS yang mengaku terpukul dengan kasus ini tidak terima. Katanya, ada rekayasa dan konspirasi besar. Merasa jadi korban, PKS akan melawan seperti macan yang dibangunkan. Macan yang di alam liar merupakan pemangsa daging muncul di panggung politik kita.
Di luar binatang-binatang itu, muncul binatang lain. Dua po­litisi Partai Demokrat yang memunculkannya. Pertama, ikan salmon, yang dipakai Sutan Bathoegana untuk intelektual kagetan asal ngomong yang mengkritik politisi anggota koalisi yang terus menyerang pemerintah. Kedua, merak, yang dipakai Anas Urbaningrum untuk para pesolek di panggung politik, tetapi minim kerja keras.
Masih dari Demokrat yang popularitasnya terus melorot karena korupsi, binatang lain mulai dimunculkan. Bukan bi­natang baru, karena binatang ini biasa dimunculkan saat ada masalah tanpa jelas penanggung jawabnya. Binatang itu adalah kambing. Hitam warnanya,
Setelah reformasi, panggung politik kita jadi panggung bina­tang. Diawali dengan "Berburu Celeng" yang dipanggungkan Djoko Pekik.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber : Kompas tgl 5 Pebruari 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar