Setelah
reformasi, panggung politik kita jadi panggung binatang.
Oleh : Wisnu
Nugroho
Di antara semua
binatang, tikus paling populer dalam perjalanan politik Indonesia.
Meskipun paling populer, popularitas tikus tidak stabil juga. Mirip-mirip
popularitas politisi dan partai politik. Kadang turun, kadang naik.
Kita bersyukur ada
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ,yang dibentuk Desember 2003 berdasarkan UU
No 30/2002. Karena KPK, popularitas tikus di panggung politik terjaga. Korupsi
lantas identik dengan kelakuan tikus-tikus. Koruptornya identik dengan tikus.
Analogi yang masuk
akal meskipun kerap merendahkan derajat tikus. Coba kita tengok. Sama-sama
mencuri, tikus mencuri untuk bertahan hidup, sedangkan koruptor karena serakah.
Sama-sama ada di sekitar kita, kelihaian tikus bersembunyi alamiah. Sementara
kelihaian koruptor bersembunyi karena banyak pelindungnya.
Untuk urusan tikus
ini, Istana Kepresidenan, Jakarta, merasa perlu menyewa jasa perusahaan global
yang punya cabang di lebih dari 50 negara untuk membersihkan Istana. Hasilnya
lumayan. Kabel-kabel pelantang untuk Presiden Yudhoyono berpidato tak lagi
dimakan tikus sejak 2005.
Popularitas tikus
sempat turun juga. Pertengahan 2009, cicak dan buaya menggusurnya. Cicak
diibaratkan sebagai pihak lemah tak berdaya, sedangkan buaya adalah pemegang
kuasa. Cicak lawan buaya adalah analogi KPK lawan Polri. Komjen Susno Duadji
mengatakan, "Cicak, kok, melawan buaya"
Tidak bertahan
lama, cicak dan buaya digusur gurita. Pemicunya buku George Junus
Aditjondro berjudul Gurita Cikeas, akhir 2009. Meski minim data
pendukung, buku ini menimbulkan kegaduhan. Gurita lalu "manggung" di
mana-mana.
Awal tahun 2010,
gurita digusur kerbau saat dibawa berunjuk rasa untuk peringatan 100 hari
periode kedua Presiden Yudhoyono di depan Istana Merdeka. Terkait unjuk rasa
itu, Presiden Yudhoyono mempertanyakan kepantasannya.
Di antara
binatang-binatang musiman itu, tikus masih populer. Popularitas tikus terkait
kerja KPK yang tak pernah surut karena tantangannya. Untuk kerja KPK itu,
binatang baru yang tampil ke panggung politik adalah sapi. Popularitas sapi
meroket bersamaan dengan penetapan Presiden Partai Keadilan Sejahtera Luthfi
Hasan Ishaaq sebagai tersangka dugaan suap impor daging sapi oleh KPK.
PKS yang mengaku
terpukul dengan kasus ini tidak terima. Katanya, ada rekayasa dan konspirasi
besar. Merasa jadi korban, PKS akan melawan seperti macan yang dibangunkan.
Macan yang di alam liar merupakan pemangsa daging muncul di panggung politik
kita.
Di luar
binatang-binatang itu, muncul binatang lain. Dua politisi Partai Demokrat yang
memunculkannya. Pertama, ikan salmon, yang dipakai Sutan
Bathoegana untuk intelektual kagetan asal ngomong yang mengkritik
politisi anggota koalisi yang terus menyerang pemerintah. Kedua, merak,
yang dipakai Anas Urbaningrum untuk para pesolek di panggung politik, tetapi
minim kerja keras.
Masih dari Demokrat
yang popularitasnya terus melorot karena korupsi, binatang lain mulai dimunculkan.
Bukan binatang baru, karena binatang ini biasa dimunculkan saat ada masalah
tanpa jelas penanggung jawabnya. Binatang itu adalah kambing. Hitam warnanya,
Setelah reformasi,
panggung politik kita jadi panggung binatang. Diawali dengan "Berburu Celeng"
yang dipanggungkan Djoko Pekik.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber
: Kompas tgl 5 Pebruari 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar