Krisis pangan akan
selalu menjadi ancaman bagi setiap negara apabila produksi pangan negara
tersebut jauh di bawah kebutuhan nasionalnya.
Oleh : Herry
Suhardiyanto - Rektor IPB dan Wakil Ketua Komite
Inovasi Nasional RI
Kelangkaan kedelai
yang pada saat ini kita alami tentu tidak berarti telah terjadi krisis pangan
karena kedelai hanya salah satu dari sekian banyak komoditas pangan
yang menjadi menu makanan kita sehari-hari.
Namun, keluarga yang mengandalkan tahu dan tempe sebagai sumber
protein sekarang harus repot mencari alternatif sumber protein yang lain.
Ketergantungan
terhadap pangan impor sering mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga di
pasar dalam negeri.
Kelangkaan kedelai
pada saat ini menyadarkan kita bahwa kita perlu mengantisipasi kemungkinan yang
dapat terjadi kapan saja. Hari-hari ini kita disadarkan
kembali akan perlunya bangsa ini mempunya sistem produksi pangan yang tangguh.
Beberapa tahun yang
lalu, ketika harga kedelai naik kita pernah menyadari perlunya kita lebih
sungguh-sungguh lagi membangun kemampuan memproduksi kedelai. Lalu, kita pun terlena
dengan prioritas lain dan kejadian itu tidak mampu menghadirkan solusi
mendasar atas persoalan ketergantungan kepada kedelai impor, sampai kejadian
serupa kita alami kembali pada saat ini.
Kebijakan
pemerintah menurunkan bea masuk impor dan mendorong koperasi atau kelompok pengusaha
tahu dan tempe untuk dapat mengimpor langsung kedelai dengan harapan dapat
memotong rantai tata niaga memang sudah tepat dan harus diambil pada saat ini.
Namun, berkurangnya
pasokan
kedelai impor karena turunnya produksi di Amerika Serikat sebagai dampak
kekeringan tentu tidak serta-merta dapat dipulihkan. Selain itu, belum
kuatnya sistem produksi kedelai di dalam negeri turut memberikan andil terhadap
kelangkaan kedelai.
Untuk mengatasi
kelangkaan kedelai, kita tidak bisa hanya mengandalkan instrumen kebijakan
perdagangan. Itu juga harus mencakup penguatan
sistem produksi di dalam negeri, terutama untuk mencegah kejadian
seperti ini terulang lagi pada masa yang akan datang.
Dengan jumlah
penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia harus memiliki grand strategy dalam
membangun sistem produksi pangan yang tangguh sehingga terbebas dari
ketergantungan kepada pangan impor. Tanah air kita yang berada di
daerah beriklim tropika memungkinkan pertanian sepanjang tahun. Kita dapat
membangun sistem produksi pangan yang tangguh dengan mengerahkan
seluruh sumber daya dan
kemampuan yang dimiliki untuk menghasilkan kebutuhan pangan sendiri, baik dalam
ragam maupun volume dan waktu ketersediaannya.
Itulah sesungguhnya target swasembada pangan secara berkelanjutan
yang mestinya terus-menerus kita perjuangkan untuk dapat ditegakkan.
Kalau Indonesia
bisa membangun sistem produksi pangan yang kuat, kita juga akan dapat membantu
negara-negara lain di dunia yang kesulitan memproduksi pangan. Dengan demikian,
grand strategy kita dalam bidang produksi pangan tidak akan
terjebak pada penanganan persoalan jangka pendek dan terbatas pada komoditas
tertentu, tetapi menjangkau rentang waktu yang lebih panjang dengan
cakupan yang lebih luas sehingga lebih tangguh.
Optimalisasi sumber
daya
Untuk membangun
system produksi pangan yang kuat, kita perlu mengelola secara optimal sumber
daya yang kita miliki.
Salah satu versi
perhitungan areal tanam untuk swasembada
kedelai menyatakan
dibutuhkan tidak kurang dari 1,7 juta ha lahan.
Namun keinginan tersebut berbanding terbalik dengan fakta di lapangan
ketika terjadi konversi lahan yang sangat cepat ke penggunaan untuk
permukiman, industri, jalan raya, dan sebagainya.
Badan Pusat
Statistik menyebutkan setiap tahun terjadi konversi lahan pertanian ke
penggunaan lain tidak kurang dari 110 ribu hektare. Termasuk dalam lingkaran
persoalan tersebut ialah lahan tidur yang tidak ditanami karena sudah dibeli
dari petani dan pembelinya berspekulasi untuk dapat menjualnya lagi dengan
harga jauh lebih tinggi.
Infrastruktur bendungan
dan jaringan irigasi yang kita miliki tidak berfungsi maksimal karena
daerah tangkapan air di hulu terdegradasi dan jaringan irigasi rusak. Volume
air yang dapat ditampung waduk berkurahg karena sedimentasi dari erosi lahan
di bagian hulu dari sungai yang dibendung. Dari 273 waduk dan embung besar untuk
layanan irigasi, 19 waduk dalam kondisi rusak berat dan ringan.
Layanan irigasi
yang mendapat air dari waduk kurang dari 10% seluruh areal layanan irigasi yang
ada dan dari total sawah beririgasi 6,7 juta hektare, sekitar 1,5 juta hektare
dalam keadaan tidak berfungsi (Pawitan et al, 2010).
Lahan sawah
irigasi di daerah hulu menerima air berlebih, sedangkan di daerah hilir sering
kekurangan air. Selain itu, di daerah irigasi tertentu terjadi hambatan
besar dalam pengelolaan. Seperti di hamparan sawah yang diairi dari Waduk
Juanda, krisis air di sawah irigasi bukan karena kekurangan pembagian air dari
waduk, melainkan karena hambatan pengelolaan.
Hal itu sering
mengakibatkan rencana tanam serentak di hamparan sawah tersebut sulit
direalisasikan. Swasembada beras yang pernah kita capai pada 1984 antara lain
merupakan buah konsistensi implementasi gagasan revolusi hijau dalam jangka
panjang yang dimulai dengan kegiatan action research pilot project Pancausaha Lengkap di Karawang
pada Agustus 1963. Program itu kemudian diperluas menjadi Bimas (Bimbingan Massal)
dan beberapa ( nama program lain sebagai 5 bentuk penyempurnaan.
Ketika beberapa
hari yang (lalu penulis mengikuti kegiatan Fakultas Pertanian IPB untuk tapak
tilas lokasi konsep Bimas pertama kali diimplementasikan, ternyata tanaman padi
para petani sedang terserang hama penggerek batang akibat berbagai persoalan,
mulai rendahnya efektivitas pestisida hingga sangat berkurangnya musuh alami
hama tersebut.
Petani menghadapi
masalah karena tanah sawah di lokasi tersebut telah diberi pupuk anorganik
berlebihan dalam jangka waktu yang lama. Pada aspek benih, kita juga masih
lemah. Jumlah petani yang sangat memahami perbenihan mengalami penurunan
sejalan dengan meningkatnya usia rata-rata petani. Untuk itu, semua
persoalan ketidakoptimalan pengelolaan sumber daya itu harus segera dipecahkan
agar kita bisa membangun sistem produksi pangan yang tangguh.
Peran
inovasi
Pada awal 1990-an,
laju pertumbuhan produksi padi mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab
pelandaian laju pertumbuhan produksi padi dan tanaman pangan lainnya ialah minimnya peran inovasi.
Hal itu sebenarnya
tidak perlu terjadi jika kita melihat hasil-hasil penelitian para peneliti kita
dari berbagai perguruan tinggi serta institusi penelitian dan pengembangan
pertanian selama beberapa tahun terakhir.
Penelitian-penelitian
itu telah menghasilkan inovasi penting dalam peningkatan produktivitas tanaman,
penggunaan sarana produksi secara lebih efisien, dan budi daya tanaman yang
ramah lingkungan.
Untuk merangsang
tumbuhnya inovasi di Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi RI bersama
Business Innovation Center (BIC) menerbitkan daftar 100 plus karya inovatif
paling prospektif. Melalui penerbitan daftar karya inovatif tersebut, sejak
2008 para peneliti baik dari perguruan tinggi, institusi penelitian dan
pengembangan di berbagai kementerian, maupun swasta di Indonesia didorong
untuk menghasilkan inovasi-inovasi terbaik mereka.
"Dengan menyelenggarakan
pendidikan tinggi pertanian yang bermutu, IPB menggugah kesadaran dan pangan
sehingga masalah kelangkaan pangan tidak terulang lagi pada masa depan."
Tidak sedikit
inovasi dalam bidang ketahanan pangan diakui sebagai inovasi yang memiliki
prospek besar untuk dikembangkan. Di antara berbagai perguruan tinggi serta
institusi penelitian dan pengembangan, IPB memberikan kontribusi terbanyak
selama empat tahun berturut-turut, yaitu 21 dari 100 inovasi (2008), 24 dari
101 inovasi (2009), 51 dari 102 inovasi (2010), dan 35 dari 103 inovasi (2011).
Dengan demikian, dari 2008 sampai 2011, IPB telah memberikan kontribusi
kumulatif sebesar 131 dari 406 inovasi.
Untuk mengkaji
kemungkinan penambahan luas areal tanam kedelai, IPB telah melakukan penelitian
untuk menjadikan lahan pasang surut sebagai tambahan areal untuk tanaman kedelai.
Hal ini diharapkan dapat mengurangi kemungkinan penurunan areal tanam jagung
dan palawija lain karena perluasan areal tanam kedelai.
Kadar pirit yang
tinggi di lahan pasang surut menyebabkan rendahnya pH tanah pada kondisi
teroksidasi sehingga produktivitas kedelai hanya 800 kg/ha. Teknologi Budi Daya
Jenuh Air (BJA) yang meliputi pengaturan tinggi muka air, penerapan olah tanah
ringan, dan pemberian kapur ternyata dapat menurunkan kadar pirit (Ghulamahdi,
2009). Penerapan teknologi BJA pada 2009-2010 di lahan pasang surut mencatat produktivitas
kedelai dapat mencapai
angka cukup tinggi, yaitu 4 ton/ha.
Untuk pengembangan
skala besar, tentu ada penurunan produktivitas rata-rata. Bila diasumsikan
terjadi penurunan 40%, produktivitas kedelai masih dapat mencapai rata-rata
2,4 ton/ha di lahan pasang surut, suatu angka yang sangat menjanjikan bagi peningkatan
produksi kedelai nasional.
Mengingat potensi
lahan kering, terutama tanah asam, di Tanah Air masih belum dimanfaatkan secara
optimal, sebagai kelanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya, IPB
telah mengembangkan formula inokulan bakteri bintil akar untuk peningkatan
produksi kedelai pada lahan kering asam (pH 4,0). Dengan memanfaatkan inokulan
tersebut, lahan kering asam dapat ditanami kedelai dengan produktivitas yang
tinggi dan penggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi 50% (Rachmania et al,
2011).
IPB juga sedang
mengembangkan varietas unggul kedelai mirip kedelai impor yang disukai
pengusaha tempe. Saat ini telah ada lima galur kedelai yang
produktivitasnya di atas anjasmoro yang digunakan sebagai pembanding karena
produktivitasnya tinggi (2,59 ton/ha) dan berbiji besar.
Dari lima galur
kedelai tersebut, dua galur kedelai tercatat mencapai produktivitas 2,94
ton/ha (Suharsono, 2012). Saat ini IPB sedang mempersiapkan perbanyakan benih
galur-galur tersebut untuk selanjutnya berharap dapat melakukan uji multilokasi
sebelum varietas baru dapat dilepas.
Puluhan varietas
unggul kedelai juga telah dihasilkan perguruan tinggi lain seperti Universitas Gadjah Mada,
Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Padjadjaran, Universitas Jember,
dan Universitas Jambi, juga Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
(Kementerian Pertanian) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Untuk memperkuat
sistem pengendalian hama yang ramah lingkungan pada tanaman kedelai,
di IPB telah dikembangkan pengendalian kepik, yaitu hama pengisap polong
kedelai Riptortus linearis dengan agen hayati cendawan Entomopatogen Verticillium lecanii. Cendawan
itu mudah dibiakkan dan efektif dalam membunuh nimfa dan kepik dewasa serta
mengendalikan jumlah telur hama (Santoso, 2010).
Pusat Penelitian
Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga sudah mengembangkan
teknologi kedelai plus yang dirancang untuk memasukkan bakteri penambat
nitrogen ke benih kedelai. Teknologi tersebut dapat meningkatkan efisiensi
aplikasi pupuk hayati (Sukiman, 2009).
Pengembangan
varietas unggul tanaman padi telah dilakukan para dosen IPB dengan menghasilkan
galur-galur tanaman padi baru. Aswidinnoor, sejak 2008, telah menghasilkan tujuh varietas
padi unggul untuk ekosistem sawah dan rawa. Selain itu, inovasi kultur
antera dan program silang balik telah dikembangkan untuk memastikan benih
unggul yang dihasilkan akan selalu seragam
(Purwoko et al, 2010).
Mengingat selama
puluhan tahun sawah selalu dipupuk dengan pupuk anorganik saja dan tidak
mendapat pasokan bahan organik yang cukup, dilakukanlah penelitian budi daya
tanaman padi dengan aplikasi bahan organik, yaitu jerami dengan dekomposer dan
pupuk hayati tanpa aplikasi pestisida. Hasil penelitian IPB di Karawang selama
lima musim tanam yang baru lalu menyatakan bahwa metode itu telah meningkatkan
ketersediaan unsur hara tanah, meningkatkan daya pegang air tanah sehingga
tanaman letaih tahan kekeringan, mengembalikan kesuburan biologi tanah yang
dapat menjadi sumber pupuk di dalam tanah, agen pengendali hayati, ataupun
probiotik bagi tanaman, serta menyuburkan pertumbuhan musuh alami dari hama
tanaman padi (Sugiyanta, 2012).
Tentu masih banyak
hasil penelitian dari para dosen berbagai perguruan tinggi negeri dan swasta
serta para peneliti di berbagai institusi penelitian dan pengembangan milik
pemerintah maupun swasta yang tidak dapat diuraikan di sini. Yang jelas, kita
sesungguhnya mampu mengembangkan teknologi yang sesuai untuk kondisi petani
kita, pemilikan lahan rata-rata tiap keluarga petani, dan keadaan
lingkungan pertumbuhan bagi tanaman yang produknya kita perlukan. Sayangnya,
masih sedikit pelaku bisnis dan institusi publik yang memanfaatkan hasil
inovasi bangsa sendiri.
Selain merumuskan
rekomendasi kebijakan, Komite Inovasi Nasional (KIN) yang dibentuk Presiden RI
diharapkan menjadi pendorong sinergi di antara berbagai pelaku, terutama
antara pihak yang menghasilkan inovasi dan pihak yang menggunakan inovasi. KIN
tidak dibentuk untuk menjadi kolom baru dari berbagai kolom yang sudah ada,
tetapi menjadi balok ikat antarkolom untuk membentuk dan memperkuat bangunan Sistem
Inovasi Nasional.
Tanpa banyak
perdebatan, KIN telah menetapkan bahwa pupuk hayati merupakan salah satu quick
win yang perlu segera diwujudkan dalam memperkuat ketahanan pangan
nasional. Kita perlu terus-menerus menghasilkan inovasi yang berguna bagi peningkatan
daya saing dan penguatan perekonomian nasional. Harapan masih ada asalkan kita
konsisten dalam menemukan solusi dan berusaha keras merajut sinergi antar peran
dalam penguatan sistem produksi pangan nasional itu. Kita pun optimistis dapat
melakukannya.
SDM
pertanian
Bersama berbagai
perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi rumpun pertanian, IPB
mempunyai tugas utama mendidik generasi muda menjadi ahli madya, sarjana,
magister, dan doctor yang kompeten untuk mengembangkan dan mengelola sistem
produksi pangan itu. Dengan menyelenggarakan pendidikan tinggi pertanian yang
bermutu, IPB menggugah kesadaran akan pentingnya pertanian dan pangan sehingga
masalah kelangkaan pangan tidak terulang lagi pada masa depan. Dengan
pendidikan tinggi pertanian yang bermutu itu, akan dihasilkan inovasi dan
teknologi budi daya yang baik serta berbagai pemikiran sebagai dasar kebijakan
untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Optimisme kita pun
bertambah ketika kita menyimak data keketatan persaingan di antara peminat
masuk IPB melalui seleksi nasional masuk perguruan tinggi negeri (SNMPTN)
jalur ujian tertulis kelompok IPA tahun 2012 yang ternyata mencapai angka
tertinggi (4,48%) bila dibandingkan dengan semua perguruan tinggi negeri. Itu
merupakan pertama kali sejak beberapa tahun terakhir IPB menerima mahasiswa
melalui SNMPTN maupun SPMB. Di antara 10 PTN dengan keketatan tertinggi, angka
keketatan persaingan sembilan perguruan tinggi lain berkisar di antara angka
7,76% sampai 11,83%.
Walaupun tingginya
keketatan itu belum diikuti tingginya nilai terendah yang diterima, data
tersebut menunjukkan minat generasi muda kita untuk belajar ilmu-ilmu pertanian
sangat tinggi. Dengan demikian, kita tidak akan kehilangan generasi
yang peduli terhadap pertanian. Akhirnya, kalau sumber daya yang kita miliki
dapat kita kelola dengan optimal, bila inovasi terus didorong dan dimanfaatkan
secara efektif untuk memperkuat sistem produksi pangan nasional, dan jika
penyiapan SDM pertanian yang unggul dapat kita lakukan melalui pendidikan
tinggi yang bermutu, kita optimistis krisis pangan akan mampu kita cegah.
Semoga!
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet.
Sumber
bacaan : dikutip dari artikel pada Media Indonesia tgl. 1 Agustus 2012
Bacaan
terkait :
Tumbuhan Kedelai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar