Sabtu, 04 Agustus 2012

Optimisme di Balik Kelangkaan Kedelai


Krisis pangan akan selalu menjadi ancaman bagi setiap negara apabila pro­duksi pangan negara tersebut jauh di bawah kebutuhan nasionalnya.
Oleh : Herry Suhardiyanto - Rektor IPB dan Wakil Ketua Komite Inovasi Nasional RI

Kelangkaan kedelai yang pada saat ini kita alami tentu tidak berarti telah terjadi krisis pangan karena kedelai hanya salah satu dari sekian banyak komoditas pangan yang menjadi menu makanan kita sehari-hari.  Namun, keluarga yang meng­andalkan tahu dan tempe seba­gai sumber protein sekarang harus repot mencari alternatif sumber protein yang lain.
Keter­gantungan terhadap pangan impor sering mengakibatkan kelangkaan dan kenaikan harga di pasar dalam negeri.
Kelangkaan kedelai pada saat ini menyadarkan kita bahwa kita perlu mengantisipasi kemungkinan yang dapat terjadi kapan saja. Hari-hari ini kita disadarkan kembali akan perlunya bangsa ini mempunya sistem produksi pangan yang tangguh.
Beberapa tahun yang lalu, ketika harga kedelai naik kita pernah menyadari perlunya kita lebih sungguh-sungguh lagi membangun kemampuan memproduksi kedelai. Lalu, kita pun terlena dengan prioritas lain dan kejadian itu tidak mampu menghadirkan solusi mendasar atas persoalan ketergantungan kepada kedelai impor, sampai kejadian serupa kita alami kembali pada saat ini.
Kebijakan pemerintah menurunkan bea masuk impor dan mendorong koperasi atau kelompok pengusaha tahu dan tempe untuk dapat mengimpor langsung kedelai dengan harapan dapat memotong rantai tata niaga memang sudah tepat dan harus diambil pada saat ini.
Namun, berkurangnya pasokan kedelai impor karena turunnya produksi di Amerika Serikat sebagai dampak kekeringan tentu tidak serta-merta dapat dipulihkan. Selain itu, belum kuatnya sistem produksi kedelai di dalam negeri turut memberikan andil terhadap kelangkaan kedelai.
Untuk mengatasi kelangkaan kedelai, kita tidak bisa hanya mengandalkan instrumen kebijakan perdagangan.  Itu juga harus mencakup penguatan sistem produksi di dalam ne­geri, terutama untuk mencegah kejadian seperti ini terulang lagi pada masa yang akan datang.
Dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia, Indonesia harus memiliki grand strategy dalam membangun sistem produksi pangan yang tangguh sehingga terbebas dari ketergantungan kepada pangan impor. Tanah air kita yang berada di daerah beriklim tropika memungkinkan pertanian sepanjang tahun. Kita dapat membangun sistem produksi pangan yang tangguh dengan mengerahkan seluruh sumber  daya dan kemampuan yang dimiliki untuk menghasilkan kebutuhan pangan sendiri, baik dalam ragam maupun volume dan waktu ketersediaannya.  Itulah sesungguhnya target swasembada pangan secara berkelanjutan yang mestinya terus-menerus kita perjuangkan untuk dapat ditegakkan.
Kalau Indonesia bisa mem­bangun sistem produksi pangan yang kuat, kita juga akan dapat membantu negara-negara lain di dunia yang kesulitan memproduksi pangan. Dengan demikian, grand strategy kita dalam bidang produksi pangan tidak akan terjebak pada penanganan persoalan jangka pendek dan terbatas pada komoditas tertentu, tetapi menjangkau rentang waktu yang lebih panjang dengan cakupan yang lebih luas sehingga lebih tangguh.

Optimalisasi sumber daya
Untuk membangun system produksi pangan yang kuat, kita perlu mengelola secara optimal sumber daya yang kita miliki.
Salah satu versi perhitungan areal tanam untuk swasembada
kedelai menyatakan dibutuhkan tidak kurang dari 1,7 juta ha lahan.  Namun keinginan tersebut berbanding terbalik dengan fakta di lapangan ketika terjadi konversi lahan yang sangat cepat ke penggunaan untuk permukiman, industri, jalan raya, dan sebagainya.
Badan Pusat Statistik menyebutkan setiap tahun terjadi konversi lahan pertanian ke penggunaan lain tidak kurang dari 110 ribu hektare. Termasuk dalam lingkaran persoalan ter­sebut ialah lahan tidur yang tidak ditanami karena sudah dibeli dari petani dan pembelinya berspekulasi untuk dapat menjualnya lagi dengan harga jauh lebih tinggi.
Infrastruktur bendungan dan jaringan irigasi yang kita miliki tidak berfungsi maksimal karena daerah tangkapan air di hulu terdegradasi dan jaringan irigasi rusak. Volume air yang dapat ditampung waduk berkurahg ka­rena sedimentasi dari erosi lahan di bagian hulu dari sungai yang dibendung. Dari 273 waduk dan embung besar un­tuk layanan irigasi, 19 waduk dalam kondisi rusak berat dan ringan.
Layanan irigasi yang mendapat air dari waduk kurang dari 10% seluruh areal layanan irigasi yang ada dan dari total sawah beririgasi 6,7 juta hektare, sekitar 1,5 juta hektare dalam keadaan tidak berfungsi (Pawitan et al, 2010).
Lahan sawah irigasi di daerah hulu menerima air berlebih, sedangkan di daerah hilir sering kekurangan air. Selain itu, di daerah irigasi tertentu terjadi hambatan besar dalam pengelolaan. Seperti di hamparan sawah yang diairi dari Waduk Juanda, krisis air di sawah iri­gasi bukan karena kekurangan pembagian air dari waduk, melainkan karena hambatan pengelolaan.
Hal itu sering mengakibatkan rencana tanam serentak di hamparan sawah tersebut sulit direalisasikan. Swasembada beras yang pernah kita capai pada 1984 antara lain merupakan buah konsistensi implementasi gagasan revolusi hijau dalam jangka panjang yang dimulai dengan kegiatan action research pilot project Pancausaha Lengkap di Karawang pada Agustus 1963. Program itu kemudian diperluas menjadi Bimas (Bimbingan Massal) dan beberapa ( nama program lain sebagai 5 bentuk penyempurnaan.
Ketika beberapa hari yang (lalu penulis mengikuti kegiatan Fakultas Pertanian IPB untuk tapak tilas lokasi konsep Bimas pertama kali diimplementasikan, ternyata tanaman padi para petani sedang terserang hama penggerek batang akibat berbagai persoalan, mulai rendahnya efektivitas pestisida hingga sangat berkurangnya musuh alami hama tersebut.
Petani menghadapi masalah karena tanah sawah di lokasi tersebut telah diberi pupuk anorganik berlebihan dalam jangka waktu yang lama. Pada aspek benih, kita juga masih lemah. Jumlah petani yang sangat memahami perbenihan mengalami penurunan sejalan dengan meningkatnya usia rata-rata petani. Untuk itu, semua persoalan ketidakoptimalan pe­ngelolaan sumber daya itu harus segera dipecahkan agar kita bisa membangun sistem produksi pangan yang tangguh.

Peran inovasi
Pada awal 1990-an, laju pertumbuhan produksi padi mengalami penurunan. Salah satu faktor penyebab pelandaian laju pertumbuhan pro­duksi padi dan tanaman pangan lainnya ialah minimnya peran inovasi.
Hal itu sebenarnya tidak perlu terjadi jika kita melihat hasil-hasil penelitian para peneliti kita dari berbagai perguruan tinggi serta institusi penelitian dan pe­ngembangan pertanian selama beberapa tahun terakhir.
Penelitian-penelitian itu telah menghasilkan inovasi penting dalam peningkatan produktivitas tanaman, penggunaan sarana produksi secara lebih efisien, dan budi daya tanaman yang ramah lingkungan.
Untuk merangsang tumbuhnya inovasi di Indonesia, Kementerian Riset dan Teknologi RI bersama Business Innovation Center (BIC) menerbitkan daftar 100 plus karya inovatif paling prospektif. Melalui penerbitan daftar karya inovatif tersebut, sejak 2008 para peneliti baik dari perguruan tinggi, institusi penelitian dan pengembangan di berbagai kementerian, maupun swasta di Indonesia didorong untuk menghasilkan inovasi-inovasi terbaik mereka.

"Dengan menyelenggarakan pendidikan tinggi pertanian yang bermutu, IPB menggugah kesadaran dan pangan sehingga masalah kelangkaan pangan tidak terulang lagi pada masa depan."

Tidak sedikit inovasi dalam bidang ketahanan pangan diakui sebagai inovasi yang memiliki prospek besar untuk dikembangkan. Di antara berbagai perguruan tinggi serta institusi penelitian dan pengembangan, IPB memberikan kontribusi terbanyak selama empat tahun berturut-turut, yaitu 21 dari 100 inovasi (2008), 24 dari 101 inovasi (2009), 51 dari 102 inovasi (2010), dan 35 dari 103 inovasi (2011). Dengan demikian, dari 2008 sampai 2011, IPB telah memberikan kontribusi kumulatif sebesar 131 dari 406 inovasi.
Untuk mengkaji kemungkinan penambahan luas areal tanam kedelai, IPB telah melakukan penelitian untuk menjadikan lahan pasang surut sebagai tambahan areal untuk tanaman kedelai. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kemungkinan penurunan areal tanam jagung dan palawija lain karena perluasan areal tanam kedelai.
Kadar pirit yang tinggi di lahan pasang surut menyebabkan rendahnya pH tanah pada kondisi teroksidasi sehingga produktivitas kedelai hanya 800 kg/ha. Teknologi Budi Daya Jenuh Air (BJA) yang meliputi pengaturan tinggi muka air, penerapan olah tanah ringan, dan pemberian kapur ternyata dapat menurunkan kadar pirit (Ghulamahdi, 2009). Penerapan teknologi BJA pada 2009-2010 di lahan pasang surut mencatat produktivitas kedelai dapat mencapai angka cukup tinggi, yaitu 4 ton/ha.
Untuk pengembangan skala besar, tentu ada penurunan produktivitas rata-rata. Bila diasumsikan terjadi penurunan 40%, produktivitas kedelai ma­sih dapat mencapai rata-rata 2,4 ton/ha di lahan pasang surut, suatu angka yang sangat menjanjikan bagi pe­ningkatan produksi kedelai nasional.
Mengingat potensi lahan kering, terutama tanah asam, di Tanah Air masih belum dimanfaatkan secara optimal, sebagai kelanjutan dari penelitian-penelitian sebelumnya, IPB telah mengembangkan formula inokulan bakteri bintil akar untuk peningkatan produksi kedelai pada lahan kering asam (pH 4,0). Dengan memanfaatkan inokulan tersebut, lahan kering asam dapat ditanami kedelai dengan produktivitas yang tinggi dan penggunaan pupuk nitrogen dapat dikurangi 50% (Rachmania et al, 2011).
IPB juga sedang mengem­bangkan varietas unggul kede­lai mirip kedelai impor yang disukai pengusaha tempe. Saat ini telah ada lima galur kedelai yang produktivitasnya di atas anjasmoro yang digunakan sebagai pembanding karena produktivitasnya tinggi (2,59 ton/ha) dan berbiji besar.
Dari lima galur kedelai terse­but, dua galur kedelai tercatat mencapai produktivitas 2,94 ton/ha (Suharsono, 2012). Saat ini IPB sedang mempersiapkan perbanyakan benih galur-galur tersebut untuk selanjutnya berharap dapat melakukan uji multilokasi sebelum varietas baru dapat dilepas.
Puluhan varietas unggul kedelai juga telah dihasilkan perguruan tinggi lain seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Jenderal Soedirman, Universitas Padjadjaran, Universitas Jember, dan Universitas Jambi, juga Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Kementerian Pertanian) dan Badan Tenaga Nuklir Nasional.
Untuk memperkuat sistem pengendalian hama yang ramah lingkungan pada tanaman kede­lai, di IPB telah dikembangkan pengendalian kepik, yaitu hama pengisap polong kedelai Riptortus linearis dengan agen hayati cendawan  Entomopatogen Verticillium lecanii. Cendawan itu mudah dibiakkan dan efektif dalam membunuh nimfa dan kepik dewasa serta mengendalikan jumlah telur hama (Santoso, 2010).
Pusat Penelitian Bioteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) juga sudah mengembangkan teknologi kedelai plus yang dirancang untuk memasukkan bakteri penambat nitrogen ke benih kedelai. Teknologi tersebut dapat meningkatkan efisiensi aplikasi pupuk hayati (Sukiman, 2009).
Pengembangan varietas unggul tanaman padi telah dilakukan para dosen IPB dengan menghasilkan galur-galur tana­man padi baru. Aswidinnoor, sejak 2008, telah menghasilkan tujuh varietas padi unggul untuk ekosistem sawah dan rawa. Selain itu, inovasi kultur antera dan program silang balik telah dikembangkan untuk memastikan benih unggul yang dihasilkan akan selalu seragam (Purwoko et al, 2010).
Mengingat selama puluhan tahun sawah selalu dipupuk dengan pupuk anorganik saja dan tidak mendapat pasokan bahan organik yang cukup, dilakukanlah penelitian budi daya tanaman padi dengan aplikasi bahan organik, yaitu jerami dengan dekomposer dan pupuk hayati tanpa aplikasi pestisida. Hasil penelitian IPB di Karawang selama lima musim tanam yang baru lalu menyatakan bahwa metode itu telah meningkatkan ketersediaan unsur hara tanah, meningkatkan daya pegang air tanah sehingga tanaman letaih tahan kekeringan, mengembalikan kesuburan biologi tanah yang dapat menjadi sumber pupuk di dalam tanah, agen pengendali hayati, ataupun probiotik bagi tanaman, serta menyuburkan pertumbuhan musuh alami dari hama tana­man padi (Sugiyanta, 2012).
Tentu masih banyak hasil penelitian dari para dosen ber­bagai perguruan tinggi negeri dan swasta serta para peneliti di berbagai institusi penelitian dan pengembangan milik pemerintah maupun swasta yang tidak dapat diuraikan di sini. Yang jelas, kita sesungguhnya mampu mengembangkan teknologi yang sesuai untuk kondisi petani kita, pemilikan lahan rata-rata tiap keluarga petani, dan keadaan lingkungan pertumbuhan bagi tanaman yang produknya kita perlukan. Sayangnya, masih sedikit pelaku bisnis dan institusi publik yang memanfaatkan hasil inovasi bangsa sendiri.
Selain merumuskan rekomendasi kebijakan, Komite Inovasi Nasional (KIN) yang dibentuk Presiden RI diharapkan menjadi pendorong sinergi di antara ber­bagai pelaku, terutama antara pihak yang menghasilkan inovasi dan pihak yang menggunakan inovasi. KIN tidak dibentuk untuk menjadi kolom baru dari berbagai kolom yang sudah ada, tetapi menjadi balok ikat antarkolom untuk membentuk dan memperkuat bangunan Sistem Inovasi Nasional.
Tanpa banyak perdebatan, KIN telah menetapkan bahwa pupuk hayati merupakan salah satu quick win yang perlu segera diwujudkan dalam memperkuat ketahanan pangan nasional. Kita perlu terus-menerus menghasilkan inovasi yang berguna bagi peningkatan daya saing dan penguatan perekonomian nasional. Harapan masih ada asalkan kita konsisten dalam menemukan solusi dan berusaha keras merajut sinergi antar peran dalam penguatan sistem produksi pangan nasio­nal itu. Kita pun optimistis dapat melakukannya.

SDM pertanian
Bersama berbagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan program studi rumpun per­tanian, IPB mempunyai tugas utama mendidik generasi muda menjadi ahli madya, sarjana, magister, dan doctor yang kompeten untuk mengembangkan dan mengelola sistem produksi pangan itu. Dengan menyelenggarakan pendidikan tinggi pertanian yang bermutu, IPB menggugah kesadaran akan pentingnya pertanian dan pangan sehingga masalah kelangkaan pangan tidak terulang lagi pada masa depan. Dengan pendidikan tinggi pertanian yang bermutu itu, akan dihasilkan inovasi dan teknologi budi daya yang baik serta berbagai pemikiran sebagai dasar kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan petani.
Optimisme kita pun bertambah ketika kita menyimak data keketatan persaingan di antara peminat masuk IPB melalui seleksi nasional masuk pergu­ruan tinggi negeri (SNMPTN) jalur ujian tertulis kelompok IPA tahun 2012 yang ternyata mencapai angka tertinggi (4,48%) bila dibandingkan dengan semua perguruan tinggi negeri. Itu merupakan pertama kali sejak beberapa tahun terakhir IPB menerima mahasiswa melalui SNMPTN maupun SPMB. Di antara 10 PTN dengan keketatan tertinggi, angka keketatan per­saingan sembilan perguruan tinggi lain berkisar di antara angka 7,76% sampai 11,83%.
Walaupun tingginya keketat­an itu belum diikuti tingginya nilai terendah yang diterima, data tersebut menunjukkan minat generasi muda kita untuk belajar ilmu-ilmu pertanian sangat tinggi. Dengan demikian, kita tidak akan kehilangan generasi yang peduli terhadap pertanian. Akhirnya, kalau sumber daya yang kita miliki dapat kita kelola dengan optimal, bila inovasi terus didorong dan dimanfaatkan secara efektif untuk memperkuat sistem produksi pangan nasional, dan jika penyiapan SDM pertanian yang unggul dapat kita lakukan melalui pendi­dikan tinggi yang bermutu, kita optimistis krisis pangan akan mampu kita cegah.
Semoga!

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet.
Sumber bacaan : dikutip dari artikel pada Media Indonesia tgl. 1 Agustus 2012

Bacaan terkait :
Tumbuhan Kedelai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar