Puluhan tahun
kemudian saya kembali ke tempat ini. Betapa
terkejutnya hati ketika menyaksikan bangunan dan jalanan telah menggantikan
bagian besar kawasan hutan ini.
Oleh : Prof. Dr.
Emil Salim *)
Puluhan tahun lalu
ketika masih menjadi murid sekolah dasar di masa kolonial Belanda, kepala
sekolah suka bawa muridnya pada hari Sabtu masuk hutan Bukit Serelo, Lahat,
Sumatera Selatan. Murid dibawa
menelusuri anak sungai Lematang untuk sampai ke sumber mata air di hutan.
Sambil berjalan,
sang guru menjelaskan makna bunyi sahut-menyahut siamang di atas pohon
sebagai pertanda kenyangnya siamang sehabis makan. Sang guru mengajak
murid-murid menuju ke tempat ramainya siamang bersahut-sahutan itu, lalu ia
menunjuk pada sisa-sisa buah-buahan yang terbuang ke tanah oleh siamang itu.
Berkata sang guru, kalau anak murid tersesat di hutan dan menderita kelaparan,
ikutilah bunyi siamang lalu kenalilah sisa buah-buahan yang terbuang di tanah.
Dan ketahuilah apa yang dimakan monyet, beruk dan siamang bisa pula dimakan
manusia, karena keadaan perut hewan ini serupa dengan perut manusia. Namun
tidak begitu halnya dengan makanan burung. Apa yang dimakan burung tidak cocok
untuk perut manusia.
Perjalanan
berlanjut di hutan dan dalam perjalanan murid dihinggapi lintah menempel di kaki,
lengan, leher dan telinga, Kerjanya menghisap darah manusia dan kita jijik
serta marah padanya. Tetapi para murid tak boleh mencabut lintah itu, kata
guru, karena lintah tak melepaskan gigitannya dan akan menjadi luka bila kita
paksakan menariknya. Pak guru mengambil tembakau dari kantongnya dan
menggosokkannya pada lintah, yang segera melepaskan gigitannya. Lintah tak
tahan pada tembakau.
Lalu pak guru
meletakkan beberapa ekor lintah di atas daun dan beliau bertanya kemanakah
lintah mengarahkan kepalanya? Perhatikanlah, kepala lintah di tengah kelembaban
hutan yang dingin ini mengarahkan kepalanya ke jurusan matahari, sumber
kehangatan. Dengan begitu kita tahu dimana letak jurusan timur mana barat,
utara dan selatan. Sesungguhnya lintah ini adalah kompas alam. Jika
engkau tersesat di hutan, kata pak guru, jadikanlah lintah ini kompasmu
menolongmu keluar dari kesesatan hutan.
Dengan penuh pesona
kami ikuti semua cerita pak guru sepanjang perjalanan di hutan belantara itu,
tentang bunga mana bisa dihisap madunya, jenis pohon mana yang manja, seperti
Meranti yang tinggi kualitas kayunya dan perlu dibantu merebut sinar matahari
di kegelapan hutan karena kalah bersaing dengan pohon Jabon yang lebih rendah
kualitasnya. Pak guru tak henti-henti
menjelaskan manfaat hutan dengan akar memeluk tanah agar tidak terjadi longsor,
peranan zat hijau daun chlorophyll yang menangkap nafas kotor yang kita
keluarkan melalui hidung, dan untuk menghasilkan udara oksigin yang kita
hirup dan memberi kita kehidupan. Dan lihatlah, berseru pak guru menunjuk pada
sumber-sumber mata air yang menyembur keluar dari tanah, membentuk kolam dan
mengalir menjadi alur sungai kecil untuk kelak bermuara di sungai Lematang yang
mengalir di kota Lahat. Perhatikanlah semua isi hutan ini punya kegunaan bagi
kita makhluk Tuhan. Karena itu tatapilah hutan dengan mata hati agar bisa kau
baca kalam Illahi. Dan dengan penuh pesona kami tatap hutan dengan segara
isinya.
Puluhan tahun
kemudian saya kembali ke tempat ini. Betapa
terkejutnya hati ketika menyaksikan bangunan dan jalanan telah menggantikan
bagian besar kawasan hutan ini.
Jumlah penduduk telah meningkat banyak. Kota yang semulanya kecil dan sepi,
kini menjadi besar dan ramai dengan macam-macam kenderaan hiruk-pikuk menghalau
kesunyian. Saya mencari hutan tempat mata hati pernah menemukan kalam Illahi,
namun sia-sia. Yang tampak adalah gedung, rumah dan bangunan. Dan kepahitan
mengisi hati ketika sebagian dari kenangan hidup terasa tergilas oleh roda
pembangunan.
Hutan hujan tropis
Indonesia
adalah unik di dunia ini. Hutan ini tumbuh di atas ribuan pulau yang terbentang
dalam jarak "dari London, Inggris, ke Kairo, Mesir." Sebanyak 17.560 pulau tersebar sepanjang
khatulistiwa diapit dua samudera India dan Pacifik dan dua benua Asia dan
Australia dan ditopang oleh tiga lempeng bumi Asia, Australia dan Pacifik yang
bergerak dan jika bertabrakan menggoncangkan bumi dengan gempa tektonik mampu
menggerakkan gelombang laut Tsunami menghempas di daratan.
Kondisi alam
seperti ini menumbuhkan macam-ragam ekosistem dengan aneka-warna sumber alam hayati
yang merebut posisi nomor satu di bumi untuk sumber alam kupu-kupu, nomor
dua untuk mamalia, nomor tiga untuk reptile, dan seterusnya. Sementara
ini masih banyak fauna-flora serta mikro-organisme yang belum direkam
kehadirannya.
Bumi memiliki tiga
kawasan hutan raksasa yang khas sifatnya, yaitu hutan Amazon di Brazil, hutan
Konggo di Afrika dan hutan hujan tropis Indonesia. Jika hutan di Brazil dan Afrika terletak di
kawasan benua, hutan hujan tropis Indonesia adalah satu-satunya di bumi ini
yang terletak di ribuan pulau, sehingga memiliki sifat unik yang tak
terbandingkan.
Kita tidak saja
belum merekam semua sumber alam hayati tanah-air kita, tetapi yang terekampun
belum tahu kita kegunaannya. Kita belum
tahu banyak tentang manfaat kupu-kupu. Kita belum menyentuh makna dari
berbagai-ragam fauna yang sudah direkam. Dengan sentuhan sains dan teknologi
maka sumber alam hayati kita bisa ditingkatkan nilai-tambahnya. Dan karena
sifatnya unik, ketersediaan sumber alam hayati kita memiliki keunggulan yang
tidak ada taranya di bumi ini.
Serombongan
ekspedisi ilmuwan pernah berkunjung ke Sulawesi Utara untuk merekam perilaku
aneka-ragam kupu-kupu di hutan. Mereka ceritakan kepada saya penemuan bermacam-macam
kupu dengan beraneka-ragam kegunaanya. Kepompong kupu-kupu memiliki
beraneka-macam warna bisa dijadikan bahan tekstil organis. Ada jenis kupu-kupu yang bisa menyerbuki bunga
dalam waktu yang sangat cepat sehingga bisa berguna menaikkan produktifitas
perkebunan kelapa sawit.
Para ahli memberi
banyak laporan yang membuka mata saya tentang pentingnya peranan kupu-kupu,
tetapi Indonesia tidak memiliki seorang Doktor atau Professor ahli kupu-kupu.
Sehingga berkatalah pemimpin ekspedisi ilmuwan ini kepada saya, bahwa Indonesia
seolah-olah duduk di atas peti yang penuh berisikan harta kekayaan yang besar
nilainya, tetapi kita tak bisa memanfaatkannya karena tidak bisa membuka
penutup peti yang terkunci rapat dan kita tidak tahu ada dimana kunci itu.
Hutan memiliki
kekayaan tinggi tetapi alat pengetahuan kita serba terbatas. Cakrawala
pemahaman kita tentang hutan, pola fikir kita dan kerangka kebijakan kita
tentang hutan masih sangat terbatas. Kita
hanya menilai makna hutan dari kacamata manfaat finansial ekonominya. Itupun
menurut harga yang tidak mencakup semua biaya eksternalitas yang terdapat dalam
hutan akibat gagalnya pasar, market failure, merekam semua biaya dan
nilai hutan.
Kita tidak merekam
jasa ekologi-lingkungan yang dihasilkan oleh hutan, berupa udara bersih,
pencegah erosi, penghasil mata air dan semua manfaat yang pernah pak guru saya
puluhan tahun lalu ceritakan pada saya.
Hutan hanya punya
nilai diukur dari harga kayu yang dihasilkannya dan nilai tanah yang
ditutupnya. Hutan diukur menurut alat-kebijakan yang mencakup hanya segi
ekonomi. Dan, mengeluhlah Hariadi *), "if
the only tool we have is a hammer everything looks like a nail... "
Kita punya berbagai
Undang-Undang yang mengatur kehutanan dan senantiasa direvisi untuk
disempurnakan sesuai dengan tuntutan zaman. Terlepas dari berbagai kelemahan UU
yang paling merisaukan adalah kelemahan dalam implementasinya. Menurut Hariadi,
pokok kelemahan terletak pada dipersempitnya lingkup kehutanan dalam koridor
biofisik hutan, sedangkan dimensi ekonomi dan sosial, seperti masalah-masalah
kemiskinan dan pertumbuhan investasi tidak menjadi landasan bagi penyusunan
kebijakan. Dan komunitas profesi kehutanan tidak berdaya menghadapi arus
politik ekonomi jangka pendek dalam kerangka waktu jabatan dan kekuasaan
maksimal 5 tahun, yang cenderung eksploitatif terhadap sumber daya alam.
Bagian besar hutan
Indonesia dinyatakan sebagai hutan negara dan karena sifat manfaat hutan adalah
non-excludable dan
berguna bagi semua orang maka pemerintah memegang peran strategis. Persebaran
informasi yang lengkap oleh pemerintah kepada pengusaha dan masyarakat
sangatlah penting agar tidak disalahgunakan oleh yang lebih menguasai informasi
sehingga integritas dan good governance menjadi sangat penting.
Apabila kemudian banjir
terjadi praktis setiap tahun maka Hariadi mengangkat hasil diskusi Alumni
Fakultas Kehutai IPB (2003) yang telah menunjuk rusaknya hutan sebagai faktor
penentu terjadinya banjir. Dan penyebab kerusakan hutan adalah belum sinkronnya
peraturan-peraturan, lemahnya kapasitas dan peran instansi pemerintah pusat dan
daerah sehingga tak tertanganinya konflik sosial dan mudahnya kawasan hutan
negara memiliki akses terbuka, open access resources, serta
besarnya hambatan melakukan sinkhronisasi kebijakan akibat perbedaan persepsi dan tingginya konflik
kepentingan. Dalam situasi demikian rendahlah iklim mengendalikan kerusakan
hutan. Sikap perorangan maupun instansi pemerintah menjadi myopic-pragmatis,
reaktif, berpikiran sempit dan berjangka pendek. Demikian keadaannya sejak
munculnya kebakaran hutan dan banjir praktis setiap tahun dari 1997 hingga
kini.
Tajam dan lugas
buah fikiran Hariadi dalam mengungkapkan masalah transformasi kebijakan
kehutanan yang menjadi anak judul bukunya. Dengan gamblang Hariadi bentangkan
fikiran kritisnya dengan argumentasi yang dingin. Sekaligus juga ditunjukkannya
jalan perbaikannya.
Hutan Indonesia
2025 akan sangat diwarnai oleh pola pembangunan yang akan ditempuh bangsa kita
antara pilihan: pertama jalan business as usual meneruskan
cara-cara kita membangun dan merusak hutan selama masa pembangunan lalu,
ataukah kedua pola sustainabilitas pembangunan hutan untuk
menarik kita keluar dari lumpur kekeliruan kebijakan kehutanan yang serba
merusak itu.
Untuk pilihan jalur
jalan kedua marilah kita simak analisa Hariadi yang dengan prihatin telah
mencurahkan fikirannya dengan menjelaskan apa sesungguhnya yang berada Di
Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber editing bacaan : *) tulisan Prof.
Dr. Emil Salim sebagai Pengantar buku ‘Di
Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam’; Hariadi Kartodiharjo; Wana Aksara- Jakarta
(2008)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar