Sabtu, 23 Juni 2012

Hutan Mimpi


Puluhan tahun kemudian saya kembali ke tempat ini.  Betapa terkejutnya hati ketika menyaksikan bangunan dan jalanan telah menggantikan bagian besar kawasan hutan ini.
Oleh : Prof. Dr. Emil Salim *)

Puluhan tahun lalu ketika masih menjadi murid sekolah dasar di masa kolonial Belanda, kepala sekolah suka bawa muridnya pada hari Sabtu masuk hutan Bukit Serelo, Lahat, Sumatera Selatan.  Murid dibawa menelusuri anak sungai Lematang untuk sampai ke sumber mata air di hutan.
Sambil berjalan, sang guru menjelaskan makna bunyi sahut-menyahut siamang di atas pohon sebagai pertanda kenyangnya siamang sehabis makan. Sang guru mengajak murid-murid menuju ke tempat ramainya siamang bersahut-sahutan itu, lalu ia menunjuk pada sisa-sisa buah-buahan yang terbuang ke tanah oleh siamang itu. Berkata sang guru, kalau anak murid tersesat di hutan dan menderita kelaparan, ikutilah bunyi siamang lalu kenalilah sisa buah-buahan yang terbuang di tanah. Dan ketahuilah apa yang dimakan monyet, beruk dan siamang bisa pula dimakan manusia, karena keadaan perut hewan ini serupa dengan perut manusia. Namun tidak begitu halnya dengan makanan burung. Apa yang dimakan burung tidak cocok untuk perut manusia.
Perjalanan berlanjut di hutan dan dalam perjalanan murid dihinggapi lintah menempel di kaki, lengan, leher dan telinga, Kerjanya menghisap darah manusia dan kita jijik serta marah padanya. Tetapi para murid tak boleh mencabut lintah itu, kata guru, karena lintah tak melepaskan gigitannya dan akan menjadi luka bila kita paksakan menariknya. Pak guru mengambil tembakau dari kantongnya dan menggosokkannya pada lintah, yang segera melepaskan gigitannya. Lintah tak tahan pada tembakau.
Lalu pak guru meletakkan beberapa ekor lintah di atas daun dan beliau bertanya kemanakah lintah mengarahkan kepalanya? Perhatikanlah, kepala lintah di tengah kelembaban hutan yang dingin ini mengarahkan kepalanya ke jurusan matahari, sumber kehangatan. Dengan begitu kita tahu dimana letak jurusan timur mana barat, utara dan selatan. Sesungguhnya lintah ini adalah kompas alam. Jika engkau tersesat di hutan, kata pak guru, jadikanlah lintah ini kompasmu menolongmu keluar dari kesesatan hutan.
Dengan penuh pesona kami ikuti semua cerita pak guru sepanjang perjalanan di hutan belantara itu, tentang bunga mana bisa dihisap madunya, jenis pohon mana yang manja, seperti Meranti yang tinggi kualitas kayunya dan perlu dibantu merebut sinar matahari di kegelapan hutan karena kalah bersaing dengan pohon Jabon yang lebih rendah kualitasnya.  Pak guru tak henti-henti menjelaskan manfaat hutan dengan akar memeluk tanah agar tidak terjadi longsor, peranan zat hijau daun chlorophyll yang menangkap nafas kotor yang kita keluarkan melalui hidung, dan untuk menghasilkan udara oksigin yang kita hirup dan memberi kita kehidupan. Dan lihatlah, berseru pak guru menunjuk pada sumber-sumber mata air yang menyembur keluar dari tanah, membentuk kolam dan mengalir menjadi alur sungai kecil untuk kelak bermuara di sungai Lematang yang mengalir di kota Lahat. Perhatikanlah semua isi hutan ini punya kegunaan bagi kita makhluk Tuhan. Karena itu tatapilah hutan dengan mata hati agar bisa kau baca kalam Illahi. Dan dengan penuh pesona kami tatap hutan dengan segara isinya.
Puluhan tahun kemudian saya kembali ke tempat ini.  Betapa terkejutnya hati ketika menyaksikan bangunan dan jalanan telah menggantikan bagian besar kawasan hutan ini. Jumlah penduduk telah meningkat banyak. Kota yang semulanya kecil dan sepi, kini menjadi besar dan ramai dengan macam-macam kenderaan hiruk-pikuk menghalau kesunyian. Saya mencari hutan tempat mata hati pernah menemukan kalam Illahi, namun sia-sia. Yang tampak adalah gedung, rumah dan bangunan. Dan kepahitan mengisi hati ketika sebagian dari kenangan hidup terasa tergilas oleh roda pembangunan.
Hutan hujan tropis Indonesia adalah unik di dunia ini. Hutan ini tumbuh di atas ribuan pulau yang terbentang dalam jarak "dari London, Inggris, ke Kairo, Mesir."  Sebanyak 17.560 pulau tersebar sepanjang khatulistiwa diapit dua samudera India dan Pacifik dan dua benua Asia dan Australia dan ditopang oleh tiga lempeng bumi Asia, Australia dan Pacifik yang bergerak dan jika bertabrakan menggoncangkan bumi dengan gempa tektonik mampu menggerakkan gelombang laut Tsunami menghempas di daratan.
Kondisi alam seperti ini menumbuhkan macam-ragam ekosistem dengan aneka-warna sumber alam hayati yang merebut posisi nomor satu di bumi untuk sumber alam kupu-kupu, nomor dua untuk mamalia, nomor tiga untuk reptile, dan seterusnya. Sementara ini masih banyak fauna-flora serta mikro-organisme yang belum direkam kehadirannya.
Bumi memiliki tiga kawasan hutan raksasa yang khas sifatnya, yaitu hutan Amazon di Brazil, hutan Konggo di Afrika dan hutan hujan tropis Indonesia.  Jika hutan di Brazil dan Afrika terletak di kawasan benua, hutan hujan tropis Indonesia adalah satu-satunya di bumi ini yang terletak di ribuan pulau, sehingga memiliki sifat unik yang tak terbandingkan.
Kita tidak saja belum merekam semua sumber alam hayati tanah-air kita, tetapi yang terekampun belum tahu kita  kegunaannya. Kita belum tahu banyak tentang manfaat kupu-kupu. Kita belum menyentuh makna dari berbagai-ragam fauna yang sudah direkam. Dengan sentuhan sains dan teknologi maka sumber alam hayati kita bisa ditingkatkan nilai-tambahnya. Dan karena sifatnya unik, ketersediaan sumber alam hayati kita memiliki keunggulan yang tidak ada taranya di bumi ini.
Serombongan ekspedisi ilmuwan pernah berkunjung ke Sulawesi Utara untuk merekam perilaku aneka-ragam kupu-kupu di hutan. Mereka ceritakan kepada saya penemuan bermacam-macam kupu dengan beraneka-ragam kegunaanya. Kepompong kupu-kupu memiliki beraneka-macam warna bisa dijadikan bahan tekstil organis.  Ada jenis kupu-kupu yang bisa menyerbuki bunga dalam waktu yang sangat cepat sehingga bisa berguna menaikkan produktifitas perkebunan kelapa sawit.
Para ahli memberi banyak laporan yang membuka mata saya tentang pentingnya peranan kupu-kupu, tetapi Indonesia tidak memiliki seorang Doktor atau Professor ahli kupu-kupu. Sehingga berkatalah pemimpin ekspedisi ilmuwan ini kepada saya, bahwa Indonesia seolah-olah duduk di atas peti yang penuh berisikan harta kekayaan yang besar nilainya, tetapi kita tak bisa memanfaatkannya karena tidak bisa membuka penutup peti yang terkunci rapat dan kita tidak tahu ada dimana kunci itu.
Hutan memiliki kekayaan tinggi tetapi alat pengetahuan kita serba terbatas. Cakrawala pemahaman kita tentang hutan, pola fikir kita dan kerangka kebijakan kita tentang hutan masih sangat terbatas.  Kita hanya menilai makna hutan dari kacamata manfaat finansial ekonominya. Itupun menurut harga yang tidak mencakup semua biaya eksternalitas yang terdapat dalam hutan akibat gagalnya pasar, market failure, merekam semua biaya dan nilai hutan.
Kita tidak merekam jasa ekologi-lingkungan yang dihasilkan oleh hutan, berupa udara bersih, pencegah erosi, penghasil mata air dan semua manfaat yang pernah pak guru saya puluhan tahun lalu ceritakan pada saya.
Hutan hanya punya nilai diukur dari harga kayu yang dihasilkannya dan nilai tanah yang ditutupnya. Hutan diukur menurut alat-kebijakan yang mencakup hanya segi ekonomi.  Dan, mengeluhlah Hariadi *), "if the only tool we have is a hammer everything looks like a nail... "
Kita punya berbagai Undang-Undang yang mengatur kehutanan dan senantiasa direvisi untuk disempurnakan sesuai dengan tuntutan zaman. Terlepas dari berbagai kelemahan UU yang paling merisaukan adalah kelemahan dalam implementasinya. Menurut Hariadi, pokok kelemahan terletak pada dipersempitnya lingkup kehutanan dalam koridor biofisik hutan, sedangkan dimensi ekonomi dan sosial, seperti masalah-masalah kemiskinan dan pertumbuhan investasi tidak menjadi landasan bagi penyusunan kebijakan. Dan komunitas profesi kehutanan tidak berdaya menghadapi arus politik ekonomi jangka pendek dalam kerangka waktu jabatan dan kekuasaan maksimal 5 tahun, yang cenderung eksploitatif terhadap sumber daya alam.
Bagian besar hutan Indonesia dinyatakan sebagai hutan negara dan karena sifat manfaat hutan adalah non-excludable dan berguna bagi semua orang maka pemerintah memegang peran strategis. Persebaran informasi yang lengkap oleh pemerintah kepada pengusaha dan masyarakat sangatlah penting agar tidak disalahgunakan oleh yang lebih menguasai informasi sehingga integritas dan good governance menjadi sangat penting.
Apabila kemudian banjir terjadi praktis setiap tahun maka Hariadi mengangkat hasil diskusi Alumni Fakultas Kehutai IPB (2003) yang telah menunjuk rusaknya hutan sebagai faktor penentu terjadinya banjir. Dan penyebab kerusakan hutan adalah belum sinkronnya peraturan-peraturan, lemahnya kapasitas dan peran instansi pemerintah pusat dan daerah sehingga tak tertanganinya konflik sosial dan mudahnya kawasan hutan negara memiliki akses terbuka, open access resources, serta besarnya hambatan melakukan sinkhronisasi kebijakan akibat perbedaan persepsi dan tingginya konflik kepentingan. Dalam situasi demikian rendahlah iklim mengendalikan kerusakan hutan. Sikap perorangan maupun instansi pemerintah menjadi myopic-pragmatis, reaktif, berpikiran sempit dan berjangka pendek. Demikian keadaannya sejak munculnya kebakaran hutan dan banjir praktis setiap tahun dari 1997 hingga kini.
Tajam dan lugas buah fikiran Hariadi dalam mengungkapkan masalah transformasi kebijakan kehutanan yang menjadi anak judul bukunya. Dengan gamblang Hariadi bentangkan fikiran kritisnya dengan argumentasi yang dingin. Sekaligus juga ditunjukkannya jalan perbaikannya.
Hutan Indonesia 2025 akan sangat diwarnai oleh pola pembangunan yang akan ditempuh bangsa kita antara pilihan: pertama jalan business as usual meneruskan cara-cara kita membangun dan merusak hutan selama masa pembangunan lalu, ataukah kedua pola sustainabilitas pembangunan hutan untuk menarik kita keluar dari lumpur kekeliruan kebijakan kehutanan yang serba merusak itu.
Untuk pilihan jalur jalan kedua marilah kita simak analisa Hariadi yang dengan prihatin telah mencurahkan fikirannya dengan menjelaskan apa sesungguhnya yang berada Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet.
Sumber editing bacaan : *) tulisan Prof. Dr. Emil Salim sebagai Pengantar buku ‘Di Balik Kerusakan Hutan dan Bencana Alam’; Hariadi Kartodiharjo; Wana Aksara- Jakarta (2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar