Selasa, 26 Juni 2012

Cula Badak, Perburuan dan Perdagangannya


Cula badak di pasar gelap setara dengan emas sehingga binatang ini menjadi pusat pemburuan liar.
Dikemas dari tulisan : Peter Gwin *)

Populasi dan penyebaran
Di Afrika dan Asia terdapat lima spesies badak (Inggris : rhinoceros atau rhino) yang menghadapi ancaman dari pemburu liar dan kehilangan habitat, dua subspesies telah dinyatakan  punah pada 2011.
Adapun beberapa jenis badak antara lain :
(1).  Badak Putih. Di alam liar sebanyak 20.160, binatang ini nyaris terancam punah yaitu pada 1885 tinggal 20 ekor saja, tetapi berhasil berkembang sehingga mencapai lebih dari 20.000 dan akibatnya menjadi target utama pemburu liar.
(2).  Badak Hitam.  Jumlahnya 4.880 ekor atau termasuk kritis.  Badak hitam ini dulu hidup di sebagian besar Afrika sub-Sahara, sedangkan pada 2011 subspesies badak hitam barat dinyatakan punah.
(3).  Badak Bercula Satu Besar.  Jumlah sebanyak 2.700 ekor dan termasuk rawan, berkembang dari jumlah sekitar 200 ekor pada awal tahun 1900-an.  Badak bercula satu besar ini sekarang dilindungi di suaka-suaka di bagian utara India dan Nepal.
(4).  Badak Sumatra.  Jumlahnya sebanyak 150 sampai 250 ekor, termasuk kritis, jumlahnya melorot akibat perburuan liar.  Saat ini berkeliaran dalam kawanan kecil di Indonesia dan Malaysia dengan perlindungan yang terbatas.
(5).  Badak Jawa.  Jumlah sekurangnya 30 ekor atau termasuk kritis.   Terdapat sekitar 30 ekor di Jawa Barat-Indonesia, sementara badak Jawa liar yang terakhir ada di Vietnam dibunuh oleh pemburu pada tahun 2010.

Konservasi
Meskipun kawasan dua spesies Afrika - ba­dak putih dan saudaranya yang lebih kecil, badak hitam - menyusut, terutama di Afrika bagian selatan dan Kenya, populasi hewan ini menunjukkan peningkatan menggembirakan. Pada tahun 2007 badak putih berjumlah 17.470, sementara badak hitam hampir berlipat dua menjadi 4.230 sejak medio 90-an.
Bagi para pelestari, angka ini menunjukkan keberhasilan. Pada 1970-an dan 80-an, per­buruan menghabisi kedua spesies ini. Kemudian China melarang penggunaan cula badak sebagai obat tradisional, dan Yaman melarang penggunaannya sebagai gagang belati resmi.
Namun, tahun 2008 jumlah badak yang mati diburu di Afrika Selatan naik menjadi 83 ekor dari hanya 13 ekor pada 2007.  Tetapi pada 2010 angka itu melonjak kembali menjadi 333 dan bahkan pada tahun lalu lebih dari 400 ekor.

Perburuan
Demi cula badak  ini maka dalam 6 tahun terakhir pemburu telah membunuh lebih dari 1.000 badak Afrika.  Kelompok pemburu ini sering membayar pencari jejak untuk menemukan badak, mengikuti hewan ini sampai petang, lalu memberitahukan posisinya melalui radio kepada penembak yang dilengkapi senapan berkekuatan tinggi.  

Seorang pemburu binatang ini menuturkan bahwa otak hewan ini sangat kecil," katanya. "Namun, hewan ini nyaris buta, sehingga bisa kita dekati. Badak dapat mencium bau manusia, jadi kita harus melawan arah angin. Dan pendengarannya bagus, sehingga kita juga harus mengawasi telinganya.  Jika telinganya bergerak mengarah ke kita, akan ada masalah.
"Namun, saya hanya mendapat sedikit uang" katanya, dan menyatakan bahwa dia dan beberapa orang lainnya membagi rata sekitar 100 juta rupiah yang diperolehnya untuk sepasang cula seberat enam kilo. Akhir ketidakpuasan ini menyebabkan dia memburu badak sendiri dan tertangkap saat menjualnya.
Sejak 2006, di Afrika Selatan saja telah lebih dari seribu badak dibantai, sekitar 22 pemburu ditembak mati, dan pada tahun lalu lebih dari 200 orang ditangkap.   Pusat konflik ini adalah cula badak, yang merupakan bahan berharga bagi pengobatan tradisional Asia. Cula badak seberat 3,5 kilo dapat terjual di pasar gelap hingga tiga miliar rupiah lebih.
Meskipun harga di pasar gelap sangat bervariasi, musim gugur lalu penjual di Vietnam mengatakan harganya antara 300 ribu sampai 1,2 juta rupiah per gram, harga tertingginya dua kali lipat harga emas dan dapat melebihi harga kokaina.
Traffic -jaringan pemantau perdagangan margasatwa- menemukan bahwa sebagian besar cula yang diperdagangkan kini berakhir di Vietnam. Pergeseran pasar ini bertepatan dengan beredarnya rumor bahwa seorang pejabat tinggi Vietnam menggunakan cula badak untuk menyembuhkan kankernya.  Sementara itu di Afrika Selatan, tergiur oleh harga - dan keuntungan - yang meroket ini, sindikat kejahatan mulai memasukkan per­buruan badak ke portofolio mereka.

Pasar gelap
Sejak tahun 2006, 95 persen badak hasil perburuan ilegal berasal dari Afrika Selatan dan Zimbabwe. Meskipun rute penyelundupan selalu berubah, kebanyakan cula akhirnya sampai ke pasar obat di Vietnam dan China, tempat permintaan cula jauh melebihi Yaman, yang menggunakan cula itu sebagai gagang belati.
Perdagangan ilegal cula yang dulu berputar di pasar-pasar China, Taiwan, Korea Selatan, Jepang, dan Yaman, sekarang berpusat di Vietnam, dengan mungkin lebih dari satu metrik ton cula yang masuk ke negara itu tahun lalu saja. Di Afrika Selatan banyak warga Vietnam, termasuk diplomat, terlibat dalam kegiatan penyelundupan cula.
Tidak semua cula badak masuk ke Vietnam secara ilegal. Hukum Afrika Selatan, sesuai dengan Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES), mengizinkan cula ba­dak diekspor sebagai hasil buruan legal. Pada 2003, seorang pemburu Vietnam terbang ke Afrika Selatan dan membunuh badak saat me­ngikuti safari legal. Segera setelah itu, puluhan pemburu Asia tiba, masing-masing membayar 450 juta atau lebih untuk berburu melalui organisasi safari besertifikat. Banyak di antara pemburu ini yang diyakini bekerja untuk sindikat. Saat kembali ke Vietnam, sepasang cula ukuran biasa seberat enam kilo dipotong-potong dan dijual di pasar gelap, menghasilkan keuntungan yang sangat mungkin melebihi 1,8 miliar rupiah setelah dipotong biaya-biaya.
Pemicu demam cula ini sulit ditentukan dengan pasti, akan tetapi di balik kehebohan ini jelas terjadi kebangkitan kembali minat terhadap cula yang dianggap mujarab tersebut.

Obat mujarab
Salah satu factor pemicu meningkatnya perburuan liar cula badak ini digunakan untuk bahan pengobatan yang dianggap mujarab, seperti beberapa kasus-kasus berikut :  
(1).  Selama setidaknya 2.000 tahun, obat-obatan Asia meresepkan cula badak -digiling men­jadi bubuk- untuk mengurangi demam dan mengobati berbagai penyakit. Beberapa penelitian yang dilakukan selama 30 tahun ter­akhir terhadap khasiatnya meredakan demam terbukti tidak konklusif, namun farmakope tradisional Vietnam edisi 2006 membahas cula badak sepanjang dua halaman.  Klaim terbaru dan paling sensasional adalah bahwa cula dapat menyembuhkan kanker.
Para pakar onkologi menyatakan bahwa belum ada penelitian khasiat cula untuk pengobatan kanker yang pernah dipublikasikan. Namun, tidak berarti cula tidak memiliki efek pada orang yang memakainya, kata Mary Hardy, direktur medis di Simms/Mann UCLA Center for Integrative Oncology dan pakar pengobatan tradisional. "Kepercayaan terhadap suatu pe­ngobatan, apalagi yang luar biasa mahal dan sulit didapatkan, dapat memiliki efek yang kuat pada perasaan pasien," katanya.
(2).  Untuk mengetahui popularitas cula badak di Vietnam, saya (seperti dituturkan penulis naskah/Peter Gwen) berkeliling negara itu bersama seorang wanita yang saya sebut saja Ibu Thien. Mammogram memperlihatkan bintik di payudara kanannya dimana sonogram menunjukkan bayangan mengkhawatirkan di indung telurnya. Wanita 52 tahun yang menarik dan mandiri ini berencana melakukan pengobatan mo­dern, tetapi juga ingin berkonsultasi dengan pakar pengobatan tradisional.
Saya bertanya apakah dia yakin cula badak dapat membantu menyembuhkannya.  "Saya tidak tahu," jawabnya. "Namun, apabila Anda merasa akan mati, tidak ada salahnya mencobanya."
(3).  Perjalanan itu membawa kami dari rumah sakit kanker dan klinik tradisional di Hanoi dan Kota Ho Chi Minh hingga ke toko obat tradisional, toko khusus yang menjual kulit binatang eksotis, dan rumah pribadi di kota-kota kecil. Kami menemukan cula badak di setiap tempat yang kami datangi.
Sebagian besar pengguna yang kami temui berasal dari kelas menengah Vietnam yang tumbuh pesat. Sering kali beberapa keluarga urunan untuk membeli sepucuk cula dan membaginya. Sebagian disumbangkan kepada teman yang sakit parah yang tidak mampu membelinya. Ibu memberikan obat ini kepada anaknya yang menderita carnpak. Kaum manula bersaksi bahwa cula memperbaiki peredaran darah dan mencegah stroke. Banyakyang menganggapnya semacam vitamin super.
Meskipun sejumlah dokter Vietnam yang berbicara dengan saya menyatakan cula badak bukan obat yang efektif untuk penyakit apa pun, beberapa dokter terhormat lainnya menyatakan bahwa cula badak bisa menjadi obat kanker yang efektif.
Trail Quoc Binh, Direktur Rumah Sakit Nasional Pengobatan Tradisional, yang merupakan bagian dari Kementerian Kesehatan Vietnam, yakin bahwa cula badak dapat meng-hambat pertumbuhan beberapa jenis tumor. "Awalnya kami mulai dengan pengobatan modern : kemoterapi, radiasi, operasi," kata Tran. "Tetapi, setelah itu mungkin masih ada be­berapa sel kanker. Jadi kami menggunakan obat tradisional untuk melawan sel tersebut." Dia mengatakan bahwa ramuan cula badak, ginseng, dan beberapa tumbuhan lainnya sebenarnya dapat menghalangi pertumbuhan sel kanker, tetapi dia tidak bisa menunjukkan penelitian teruji yang mendukung klaimnya.
(4).  Suatu malam di Hanoi, Ibu Thien dan saya mengunjungi sebuah kafe yang ramai. Dia menjelaskan kondisinya kepada sang pemilik yang lalu mengeluarkan sepotong cula berwarna kuning seukuran sabun dan mangkuk keramik yang bergambar badak di sampingnya. Dasar mangkuk itu kasar, seperti ampelas harus. Dia menuangkan sekitar seratus mililiter air ke mangkuk itu dan mulai menggosokkan cula ke dasarnya secara melingkar. Setelah beberapa menit, cula itu mengeluarkan bau sangit, dan airnya berubah seputih susu. Sambil menggosok, pemilik kafe menjelaskan bahwa dia dan seorang temannya membeli cula itu sebagai suplemen kesehatan dan obat sakit kepala akibat mabuk, harganya sekitar 160 juta rupiah untuk sekitar 180 gram. Ketertarikan mereka sebagian karena diberi tahu seorang mantan sekretaris Ho Chi Minh, pelanggan kafe itu, bahwa Ho yang sangat percaya kepada pengobatan tradisional makan cula badak setiap hari.
Setelah menggosok 20 menit, pria itu menuangkan airnya ke dalam dua gelas kecil dan menyerahkan satu untuk Ibu Thien dan satu lagi untuk saya. Selain teksturnya yang agak berpasir, minuman itu tawar seperti air biasa. Ibu Thien mengosongkan gelasnya dan meletakkannya di meja. "Semoga ada manfaatnya," ujarnya.

Sebenarnya tidak perlu membunuh
Seonggok besar daging badak tergantung di lemari pendingin, sementara pekerja mengolah kulit badak putih jantan dengan garam batu. Setiap tahun suaka margasatwa di Afrika Selatan menjual hewan buruan, termasuk badak, ketika populasinya melebihi sumber daya yang tersedia. Keuntungannya digunakan untuk mendanai proyek konservasi, sementara peternak hewan buruan membiakkannya bagi pemburu dan ekowisata. Para pelestari menganggap sistem ini berhasil meningkatkan jumlah badak selama 20 tahun terakhir.

Seorang pengusaha, John Hume (69) yang telah berhasil dalam usaha hotel dan taksi, saat ini memiliki kawanan badak pribadi yang terbanyak di dunia yaitu lebih dari 700 badak putih dan hitam di dua peternakan di Afrika Selatan, dan masih ingin menambahnya.
Menurutnya kita tidak perlu membunuh badak untuk memasok semua kebutuhan cula badak ke Vietnam.  "Kita memanen wol dari domba, mengapa tidak memanen cula dari badak?" tanyanya pada suatu sore, sambil duduk di kantor salah satu peternakannya. "Jika kita memotong cula sekitar 80 milimeter dari pangkalnya, cula itu akan pulih dalam dua tahun. Itu berarti ada pasokan cula badak yang tidak terbatas jika kita cukup pintar dan tidak sampai membunuh hewan itu."
Hampir seminggu sekali manajer peternakan Hume dan seorang dokter hewan, dengan diawasi petugas margasatwa, membius salah satu badaknya dan memotong kedua culanya dengan gergaji listrik. Dua puluh menit kemudian hewan tersebut kembali merumput, dan culanya yang telah ditanami mikrocip disimpan di brankas bank. Hume menolak menyebut jumlah cula yang diperolehnya sejak ia mulai panen pada tahun 2002, tetapi dengan perkiraan konservatif saja nilainya mencapai ratusan iniliar rupiah.
Ide Hume tentang peternakan cula badak skala besar akan menjadi gagasan baru dalam praktik manajemen margasatwa inovatif yang berasal dari Afrika Selatan. Pada 1961, pejabat di Provinsi Natal merintis pemindahan badak liar ke lahan pribadi untuk menggalakkan pe­ternakan dan meningkatkan keragaman genetis. Tahun 1986, Dewan Suaka Margasatwa Natal mengiztnkan kelebihan badak di suaka marga­satwa provinsi ini dilelang sesuai nilai pasar yang wajar, yang menghasilkan miliaran rupiah bagi upaya pelestarian lokal dan mengangkat nilai hewan itu di kalangan peternak dan pemburu. Hume berpendapat bahwa panen cula badak merupakan langkah bijak berikutnya.
Semakin lama kami berbincang, Hume men­jadi semakin meradang. Pemburu Vietnam akan dengan senang hati memanah hewan itu dengan pembius, mengambil culanya, dan membiarkannya hidup, katanya dengan keras. "Namun, hukum Afrika Selatan mengharuskan pemburu membunuh badak itu agar bisa mengekspor culanya sebagai hasil buruan." Dia menggeleng-menggeleng memikirkan betapa tidak logisnya hal itu.
Salah satu kesalahpahaman lain, kata Hume, adalah anggapan bahwa gading dan cula itu sama. Gading adalah gigi gajah, sementara cula badak adalah keratin, sama dengan kuku kuda. Ketika gading gajah dipotong, saraf di bagian dalamnya dapat terinfeksi, menyebabkan kematian hewan tersebut.
Para pelestari berpendapat bahwa melegalkan perdagangan cula badak tidak akan mengubah alasan ekonomi di balik perburuan: cula hasil berburu selalu akan lebih murah daripada cula hasil beternak. Hume tidak setuju. 
Begitu pembeli yakin pada ketersediaan cula yang legal, harga akan jatuh, yang akan menyebabkan sindikat kejahatan meninggalkan bisnis ini. "Perbedaan mendasarnya adalah bahwa pemburu mencari cula badak demi mendapatkan laba jangka pendek secara mudah. Peternak menggelutinya demi keuntungan stabil jangka panjang."
Beberapa penolakan, dia khawatir, berasal dari standar ganda budaya. "Pada dasarnya, kita mengatakan kepada orang Vietnam bahwa kita boleh saja membunuh binatang karena kebiasaan kita memancung kepala badak dan memasangnya di dinding sebagai hiasan bisa diterima. Sementara, mereka tidak boleh melakukannya karena tradisi memotong cula untuk obat di Asia itu menjijikkan."

Pro dan Kontra
Beberapa pengkritik praktek ini yang mengatakan bahwa hal itu menyebabkan hewan ini kehilangan perlindungannya dari pemangsa alami, sedangkan pendukung pemotongan cula berpendapat bahwa ketiadaan cula mencegah pemburu liar dan mengurangi jumlah badak yang mati akibat luka saat berkelahi memperebutkan wilayah dan pasangan.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet.
*)  Sumber editing bacaan : ‘Perang Badak’ oleh Peter Gwin dalam National Geographic edisi Maret 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar