Dikemas
dari tulisan : Peter Gwin *)
Populasi dan
penyebaran
Di Afrika dan Asia terdapat
lima spesies badak (Inggris : rhinoceros
atau rhino) yang menghadapi ancaman dari pemburu liar dan kehilangan
habitat, dua subspesies telah dinyatakan
punah pada 2011.
(1). Badak Putih. Di
alam liar sebanyak 20.160, binatang ini nyaris terancam punah yaitu pada 1885 tinggal
20 ekor saja, tetapi berhasil berkembang sehingga mencapai lebih dari 20.000
dan akibatnya menjadi target utama pemburu liar.
(2). Badak Hitam. Jumlahnya 4.880 ekor atau termasuk kritis.
Badak hitam ini dulu hidup di sebagian besar Afrika sub-Sahara,
sedangkan pada 2011 subspesies badak hitam barat dinyatakan punah.
(3). Badak Bercula Satu Besar. Jumlah sebanyak 2.700 ekor dan termasuk rawan, berkembang dari jumlah sekitar 200
ekor pada awal tahun 1900-an. Badak
bercula satu besar ini sekarang dilindungi di suaka-suaka di bagian utara India
dan Nepal.
(4). Badak Sumatra. Jumlahnya sebanyak 150 sampai 250 ekor, termasuk
kritis, jumlahnya melorot akibat
perburuan liar. Saat ini berkeliaran
dalam kawanan kecil di Indonesia dan Malaysia dengan perlindungan yang terbatas.
(5). Badak Jawa. Jumlah sekurangnya 30 ekor atau termasuk kritis.
Terdapat sekitar 30 ekor di Jawa Barat-Indonesia,
sementara badak Jawa liar yang terakhir ada di Vietnam dibunuh oleh pemburu pada
tahun 2010.
Konservasi
Meskipun kawasan
dua spesies Afrika - badak putih dan saudaranya yang
lebih kecil, badak hitam - menyusut, terutama di Afrika bagian selatan dan
Kenya, populasi hewan ini menunjukkan peningkatan menggembirakan. Pada tahun
2007 badak putih berjumlah 17.470, sementara badak hitam hampir berlipat dua
menjadi 4.230 sejak medio 90-an.
Bagi para
pelestari, angka ini menunjukkan keberhasilan. Pada 1970-an dan 80-an, perburuan
menghabisi kedua spesies ini. Kemudian China melarang penggunaan cula badak sebagai
obat tradisional, dan Yaman melarang penggunaannya sebagai gagang belati resmi.
Namun, tahun 2008
jumlah badak yang mati diburu di Afrika Selatan naik menjadi 83 ekor dari hanya
13 ekor pada 2007. Tetapi pada 2010
angka itu melonjak kembali menjadi 333 dan bahkan pada tahun lalu lebih dari
400 ekor.
Perburuan
Demi cula badak ini maka dalam 6 tahun terakhir pemburu telah membunuh
lebih dari 1.000 badak Afrika. Kelompok
pemburu ini sering membayar pencari jejak untuk menemukan badak, mengikuti
hewan ini sampai petang, lalu memberitahukan posisinya melalui radio kepada
penembak yang dilengkapi senapan berkekuatan tinggi.
Seorang pemburu binatang ini menuturkan bahwa otak hewan ini sangat kecil," katanya. "Namun, hewan ini nyaris buta, sehingga bisa kita dekati. Badak dapat mencium bau manusia, jadi kita harus melawan arah angin. Dan pendengarannya bagus, sehingga kita juga harus mengawasi telinganya. Jika telinganya bergerak mengarah ke kita, akan ada masalah.
"Namun, saya hanya mendapat sedikit uang" katanya,
dan menyatakan bahwa dia dan beberapa orang lainnya membagi rata sekitar 100
juta rupiah yang diperolehnya untuk sepasang cula seberat enam kilo. Akhir
ketidakpuasan ini menyebabkan dia memburu badak sendiri dan tertangkap saat
menjualnya.
Sejak 2006, di
Afrika Selatan saja telah lebih dari seribu badak dibantai, sekitar 22 pemburu
ditembak mati, dan pada tahun lalu lebih dari 200 orang ditangkap. Pusat konflik ini adalah cula badak, yang
merupakan bahan berharga bagi pengobatan tradisional Asia. Cula badak seberat
3,5 kilo dapat terjual di pasar gelap hingga tiga miliar rupiah lebih.
Meskipun harga di
pasar gelap sangat bervariasi, musim gugur lalu penjual di Vietnam mengatakan
harganya antara 300 ribu sampai 1,2 juta rupiah per gram, harga tertingginya
dua kali lipat harga emas dan dapat melebihi harga kokaina.
Traffic -jaringan
pemantau perdagangan margasatwa- menemukan bahwa sebagian besar cula yang
diperdagangkan kini berakhir di Vietnam. Pergeseran pasar ini bertepatan dengan
beredarnya rumor bahwa seorang pejabat tinggi Vietnam menggunakan cula badak
untuk menyembuhkan kankernya. Sementara
itu di Afrika Selatan, tergiur oleh harga - dan
keuntungan - yang meroket ini, sindikat kejahatan mulai memasukkan perburuan
badak ke portofolio mereka.
Pasar gelap
Sejak tahun 2006, 95
persen badak hasil perburuan ilegal berasal dari Afrika Selatan dan Zimbabwe.
Meskipun rute penyelundupan selalu berubah, kebanyakan cula akhirnya sampai ke
pasar obat di Vietnam dan China, tempat permintaan cula jauh melebihi Yaman,
yang menggunakan cula itu sebagai gagang belati.
Perdagangan ilegal
cula yang dulu berputar di pasar-pasar China, Taiwan, Korea Selatan, Jepang,
dan Yaman, sekarang berpusat di Vietnam, dengan mungkin lebih dari satu metrik
ton cula yang masuk ke negara itu tahun lalu saja. Di Afrika Selatan banyak warga
Vietnam, termasuk diplomat, terlibat dalam kegiatan penyelundupan cula.
Tidak semua cula
badak masuk ke Vietnam secara ilegal. Hukum Afrika Selatan, sesuai dengan
Konvensi Perdagangan Internasional Spesies Langka (CITES), mengizinkan cula badak
diekspor sebagai hasil buruan legal. Pada 2003, seorang pemburu Vietnam terbang
ke Afrika Selatan dan membunuh badak saat mengikuti safari legal. Segera
setelah itu, puluhan pemburu Asia tiba, masing-masing membayar 450 juta atau
lebih untuk berburu melalui organisasi safari besertifikat. Banyak di antara
pemburu ini yang diyakini bekerja untuk sindikat. Saat kembali ke Vietnam,
sepasang cula ukuran biasa seberat enam kilo dipotong-potong dan dijual di
pasar gelap, menghasilkan keuntungan yang sangat mungkin melebihi 1,8 miliar
rupiah setelah dipotong biaya-biaya.
Pemicu demam cula
ini sulit ditentukan dengan pasti, akan tetapi di balik kehebohan ini jelas
terjadi kebangkitan kembali minat terhadap cula yang dianggap mujarab tersebut.
Obat
mujarab
Salah satu factor pemicu
meningkatnya perburuan liar cula badak ini digunakan untuk bahan pengobatan
yang dianggap mujarab, seperti beberapa kasus-kasus berikut :
(1). Selama setidaknya 2.000 tahun, obat-obatan
Asia meresepkan cula badak -digiling menjadi bubuk- untuk
mengurangi demam dan mengobati berbagai penyakit. Beberapa penelitian yang
dilakukan selama 30 tahun terakhir terhadap khasiatnya meredakan demam
terbukti tidak konklusif, namun farmakope tradisional Vietnam edisi 2006
membahas cula badak sepanjang dua halaman.
Klaim terbaru
dan paling sensasional adalah bahwa cula dapat menyembuhkan kanker.
Para pakar onkologi
menyatakan bahwa belum ada penelitian khasiat cula untuk pengobatan kanker yang
pernah dipublikasikan. Namun, tidak berarti cula tidak memiliki efek pada orang
yang memakainya, kata Mary Hardy, direktur medis di Simms/Mann UCLA Center for
Integrative Oncology dan pakar pengobatan tradisional. "Kepercayaan
terhadap suatu pengobatan, apalagi yang luar biasa mahal dan sulit didapatkan,
dapat memiliki efek yang kuat pada perasaan pasien," katanya.
(2). Untuk mengetahui popularitas cula badak di
Vietnam, saya (seperti dituturkan penulis
naskah/Peter Gwen) berkeliling negara itu bersama seorang wanita yang saya
sebut saja Ibu Thien. Mammogram memperlihatkan bintik di payudara kanannya
dimana sonogram menunjukkan bayangan mengkhawatirkan di indung telurnya. Wanita
52 tahun yang menarik dan mandiri ini berencana melakukan pengobatan modern,
tetapi juga ingin berkonsultasi dengan pakar pengobatan tradisional.
Saya bertanya
apakah dia yakin cula badak dapat membantu menyembuhkannya. "Saya tidak tahu," jawabnya. "Namun, apabila Anda merasa akan mati,
tidak ada salahnya mencobanya."
(3). Perjalanan itu membawa kami dari rumah sakit
kanker dan klinik tradisional di Hanoi dan Kota Ho Chi Minh hingga ke toko obat
tradisional, toko khusus yang menjual kulit binatang eksotis, dan rumah pribadi
di kota-kota kecil. Kami menemukan cula badak di setiap tempat yang kami
datangi.
Sebagian besar pengguna
yang kami temui berasal dari kelas menengah Vietnam yang tumbuh pesat. Sering
kali beberapa keluarga urunan untuk membeli sepucuk cula dan membaginya.
Sebagian disumbangkan kepada teman yang sakit parah yang tidak mampu
membelinya. Ibu memberikan obat ini kepada anaknya yang menderita carnpak. Kaum
manula bersaksi bahwa cula memperbaiki peredaran darah dan mencegah stroke.
Banyakyang menganggapnya semacam vitamin super.
Meskipun sejumlah
dokter Vietnam yang berbicara dengan saya menyatakan cula badak bukan obat yang
efektif untuk penyakit apa pun, beberapa dokter terhormat lainnya menyatakan bahwa
cula badak bisa menjadi obat kanker yang efektif.
Trail Quoc Binh,
Direktur Rumah Sakit Nasional Pengobatan Tradisional, yang merupakan bagian
dari Kementerian Kesehatan Vietnam, yakin bahwa cula badak dapat meng-hambat
pertumbuhan beberapa jenis tumor. "Awalnya kami mulai dengan pengobatan modern
: kemoterapi, radiasi, operasi," kata Tran. "Tetapi, setelah itu
mungkin masih ada beberapa sel kanker. Jadi kami menggunakan obat tradisional
untuk melawan sel tersebut." Dia mengatakan bahwa ramuan cula badak,
ginseng, dan beberapa tumbuhan lainnya sebenarnya dapat menghalangi pertumbuhan
sel kanker, tetapi dia tidak bisa menunjukkan penelitian teruji yang mendukung
klaimnya.
(4). Suatu malam di Hanoi, Ibu Thien dan saya
mengunjungi sebuah kafe yang ramai. Dia menjelaskan kondisinya kepada sang
pemilik yang lalu mengeluarkan sepotong cula berwarna kuning seukuran sabun dan
mangkuk keramik yang bergambar badak di sampingnya. Dasar mangkuk itu kasar,
seperti ampelas harus. Dia menuangkan sekitar seratus mililiter air ke mangkuk
itu dan mulai menggosokkan cula ke dasarnya secara melingkar. Setelah beberapa
menit, cula itu mengeluarkan bau sangit, dan airnya berubah seputih susu.
Sambil menggosok, pemilik kafe menjelaskan bahwa dia dan seorang temannya
membeli cula itu sebagai suplemen kesehatan dan obat sakit kepala akibat mabuk,
harganya sekitar 160 juta rupiah untuk sekitar 180 gram. Ketertarikan mereka sebagian
karena diberi tahu seorang mantan sekretaris Ho Chi Minh, pelanggan kafe itu,
bahwa Ho yang sangat percaya kepada pengobatan tradisional makan cula badak
setiap hari.
Setelah menggosok
20 menit, pria itu menuangkan airnya ke dalam dua gelas kecil dan menyerahkan
satu untuk Ibu Thien dan satu lagi untuk saya. Selain teksturnya yang agak
berpasir, minuman itu tawar seperti air biasa. Ibu Thien mengosongkan gelasnya
dan meletakkannya di meja. "Semoga ada manfaatnya," ujarnya.
Sebenarnya tidak
perlu membunuh
Seonggok besar
daging badak tergantung di lemari pendingin, sementara pekerja mengolah kulit
badak putih jantan dengan garam batu. Setiap tahun suaka margasatwa di Afrika
Selatan menjual hewan buruan, termasuk badak, ketika populasinya melebihi
sumber daya yang tersedia. Keuntungannya digunakan untuk mendanai proyek
konservasi, sementara peternak hewan buruan membiakkannya bagi pemburu dan
ekowisata. Para pelestari menganggap sistem ini berhasil meningkatkan jumlah
badak selama 20 tahun terakhir.
Seorang pengusaha, John Hume (69) yang telah berhasil dalam usaha hotel dan taksi, saat ini memiliki kawanan badak pribadi yang terbanyak di dunia yaitu lebih dari 700 badak putih dan hitam di dua peternakan di Afrika Selatan, dan masih ingin menambahnya.
Menurutnya kita tidak
perlu membunuh badak untuk memasok semua kebutuhan cula badak ke Vietnam. "Kita memanen wol dari domba, mengapa
tidak memanen cula dari badak?" tanyanya pada suatu sore, sambil duduk di
kantor salah satu peternakannya. "Jika kita memotong cula sekitar 80
milimeter dari pangkalnya, cula itu akan pulih dalam dua tahun. Itu berarti ada
pasokan cula badak yang tidak terbatas jika kita cukup pintar dan tidak sampai
membunuh hewan itu."
Hampir seminggu
sekali manajer peternakan Hume dan seorang dokter hewan, dengan diawasi petugas
margasatwa, membius salah satu badaknya dan memotong kedua culanya dengan
gergaji listrik. Dua puluh menit kemudian hewan tersebut kembali merumput, dan
culanya yang telah ditanami mikrocip disimpan di brankas bank. Hume menolak
menyebut jumlah cula yang diperolehnya sejak ia mulai panen pada tahun 2002,
tetapi dengan perkiraan konservatif saja nilainya mencapai ratusan iniliar
rupiah.
Ide Hume tentang
peternakan cula badak skala besar akan menjadi gagasan baru dalam praktik
manajemen margasatwa inovatif yang berasal dari Afrika Selatan. Pada 1961,
pejabat di Provinsi Natal merintis pemindahan badak liar ke lahan pribadi untuk
menggalakkan peternakan dan meningkatkan keragaman genetis. Tahun 1986, Dewan
Suaka Margasatwa Natal mengiztnkan kelebihan badak di suaka margasatwa
provinsi ini dilelang sesuai nilai pasar yang wajar, yang menghasilkan miliaran
rupiah bagi upaya pelestarian lokal dan mengangkat nilai hewan itu di kalangan
peternak dan pemburu. Hume berpendapat bahwa panen cula badak merupakan langkah
bijak berikutnya.
Semakin lama kami
berbincang, Hume menjadi semakin meradang. Pemburu Vietnam akan dengan senang
hati memanah hewan itu dengan pembius, mengambil culanya, dan membiarkannya
hidup, katanya dengan keras. "Namun, hukum Afrika Selatan mengharuskan
pemburu membunuh badak itu agar bisa mengekspor culanya sebagai hasil
buruan." Dia menggeleng-menggeleng memikirkan betapa tidak logisnya hal
itu.
Salah satu
kesalahpahaman lain, kata Hume, adalah anggapan bahwa gading dan cula itu sama.
Gading adalah gigi gajah, sementara cula badak adalah keratin, sama dengan kuku
kuda. Ketika gading gajah dipotong, saraf di bagian dalamnya dapat terinfeksi,
menyebabkan kematian hewan tersebut.
Para pelestari
berpendapat bahwa melegalkan perdagangan cula badak tidak akan mengubah alasan
ekonomi di balik perburuan: cula hasil berburu selalu akan lebih murah daripada
cula hasil beternak. Hume tidak setuju.
Begitu pembeli
yakin pada ketersediaan cula yang legal, harga akan jatuh, yang akan menyebabkan
sindikat kejahatan meninggalkan bisnis ini. "Perbedaan mendasarnya adalah
bahwa pemburu mencari cula badak demi mendapatkan laba jangka pendek secara
mudah. Peternak menggelutinya demi keuntungan stabil jangka panjang."
Beberapa penolakan,
dia khawatir, berasal dari standar ganda budaya. "Pada dasarnya, kita
mengatakan kepada orang Vietnam bahwa kita boleh saja membunuh binatang karena
kebiasaan kita memancung kepala badak dan memasangnya di dinding sebagai hiasan
bisa diterima. Sementara, mereka tidak boleh melakukannya karena tradisi memotong
cula untuk obat di Asia itu menjijikkan."
Pro dan Kontra
Beberapa pengkritik praktek ini yang mengatakan bahwa hal
itu menyebabkan hewan ini kehilangan perlindungannya dari pemangsa alami,
sedangkan pendukung pemotongan cula berpendapat bahwa ketiadaan cula mencegah
pemburu liar dan mengurangi jumlah badak yang mati akibat luka saat berkelahi
memperebutkan wilayah dan pasangan.
Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil
dari internet.
*) Sumber editing bacaan :
‘Perang Badak’ oleh Peter Gwin dalam National Geographic
edisi Maret 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar