Senin, 05 September 2011

Musik Pop Indonesia Disukai di Mancanegara



Tanpa gembar-gembor, beberapa album karya band Indonesia Era 70-an dirilis di Mancanegara oleh beberapa label independen yang ada di Eropa dan Amerika Serikat, sebuah fenomena yang mencengangkan tentunya.
 
Oleh : Denny Sakrie

Setelah Shadoks, sebuah label kecil di Jerman, merilis ulang album Ariesta Birawa, Guruh Gipsy, dan Shark Move, lalu Sublime Frequencies di Seatle Amerika Serikat, merilis ulang album-album Dara Puspita, Koes Bersaudara, dan Koes Plus, kini muncul lagi label bernama Now Again Records, yang membuat kompilasi musik Indonesia bertajuk Those Shock­ing Shaking Days.
Entah apa yang membuat para penikmat musik di mancanegara, sebut saja Inggris, Belanda, Amerika Serikat, Belgia, Jerman, Italia, dan Jepang, seolah tergila-gila dan terpukau dengan tumpukan diskografi album-album lawas Indonesia mulai era paruh 60-an hingga 70-an.
Shadoks Record yang berdomisili di Jerman bahkan tanpa seizin pemegang rights dan ahli waris merilis ulang album Ariesta Birawa asal Surabaya, yang aslinya diedarkan Serimpi Record. Termasuk di diantaranya Guruh Gipsy yang diedarkan secara indie pada awal 1977.
Tersebutlah sebuah buku bertajuk Record Collector Dream yang disusun Hans Pokora dari Austria. Buku yang dianggap kitab suci bagi para kolektor musik, terutama piringan hitam dan kaset, itu dibuat berseri dengan memuat berbagai al­bum bergenre prog-rock folk, psy­chedelic rock, hingga world music. Selain itu, juga memasukkan beberapa album musik Indo­nesia di katalognya, antara lain Ariesta Birawa, Harry Roesli, Koes Bersaudara, Dara Puspita, hingga Guruh Gipsy.
Data katalog buku yang disusun Hans Pokora inilah yang kemudian memicu minat be­berapa label independen untuk melakukan reissue sekaligus remastered. Diantaranya muncul Shadoks Record, label yang berasal dari sebuah kota kecil di Jerman.
Patut diakui, sejak akhir era 90-an album-album musik pop dan rock Indonesia mulai diminati bangsa asing. Mereka bahkan melakukan hunting piringan hitam musik Indonesia ke beberapa titik pawnshop yang ada di kawasan Jakarta, seperti Jalan Surabaya, Jatinegara, dan Taman Puring.  Saya sempat mengenal beberapa diantara mereka, umumnya mereka kolektor rekaman music seperti Tetsu Nagata orang Jepang yang sempat bermukim di Jakarta. 
Tetsu sangat menggilai music Indonesia, terutama progressive rock. Lalu saya juga berkenalan dengan Alan Bishop dari Seattle yang ternyata memiliki la­bel kecil di negaranya. Alan Bishop mengaku tertarik dengan pop scene di Asia dan Timur Tengah. Alan bah­kan tergila-gila dengan  Koes Bersaudara, Koes Plus, Dara Puspita, hingga Oma Irama dan OM Soneta-nya. Alan Bishop bahkan mempunyai band yang diberi   nama West Koes. Tahun lalu Alan Bishop merilis ulang album Koes Bersaudara dan Dara Puspita dalam bentuk CD. Rencananya, tahun 20l1 ini album itu akan dirilis lagi dalam bentuk vinil atau piringan hitam.


Alan Bishop memuji kualitas dan visi pemusik Indonesia di era Orde Baru itu. Menurut Alan, pemusik Indonesia berhasil menginterpretasikan rok n roll popduk Barat menjadi rock n'roll dengan rasa Indonesia. Tetsu Nagata pun memuji terampilan bermusik pemusik Indonesia.
Di Italia, Mauro Moroni pemilik label khusus Mellow Record, juga segelintir dari orang Italia yang menggemari musik Indonesia era 70-an pada 1999 Mauro Moroni sempat merilis album debut grup prog-rock Indonesia yang dibentuk gitaris rock kontemporer Iwan Hasan.
Beberapa waktu silam, saya sempat memberikan album-album Indonesia yang sudah out of print itu kepada Mauro Moroni, serta seorang Italia lainnya yang juga maniak musik Indonesia, yaitu Gianlorenzo Giovanozzi dalam bentuk CDR. Juga ada Feddo Renir kolektor asal Belanda yang begitu menyukai music rocl/pop Indonesia.  Feddo bahkan mengulas reporter music Indonesia dalam acara radio yang dikelolanya di Belanda, bernama Psyehedelicatessen.
Lalu muncul Leonardo Pavkovic, lelaki turunan Bos­nia yang menetap di New York dan memiliki label Moonjune Record.  Lelaki bertubuh besar ini juga sangat menaruh perhatian yang mendalam terhadap band-band Indonesia, terutama yang bergenre prog-rock dan jazz kontemporer. Nama label yang didirikan Leonardo Pavkovick itu diambil dari lagu karya Robert Wyatt Moon in June.
Moon June Record memang mengambil spesialisasi merilis album-album bergenre jazz, psychedelic, jazz kontemporer, dan avant garde music, Moon In Jane Record telah merilis beberapa:album pemusik Indo­nesia, di antaranya Patahan dan Demi Masa dari kelompok etnik jazz Simak Dialog dan Tohpati Ethnomission. Dalam waktu dekat, label idealis itu juga akan merilis album solo Dewa Budjana serta Ligro.
Leonardo pun tertarik untuk merilis ulang album eksperimental fenomenal Indonesia Guruh Gipsy.  “Saya sudah melakukan kontak dengan Oding Nasution dan Keenan Nasution untuk negosiasi rilis Guruh Gipsy. Saya juga berusaha untuk menghubungi Guruh, tapi dia tampak sibuk," ungkap Leonardo Pavkovic, yang kerap bolak-balik New York-Jakarta.
Keenan Na­sution, drummer dan vokalis Guruh Gipsy, tam paknya lebih menaruh minat pada rencana Moon June Records untuk me-reissue album Guruh Gipsy. "Album Guruh Gipsy yang dirilis Shadoks Record itu tidak minta izin dari kami," jelas Keenan Nasution.
Sejak dua tahun silam Leo­nardo Pavkovic pun telah meminta kepada saya untuk meriset data band-band Indonesia era akhir 60-an dan awal 70-an yang beratmosfer obscured. Leonardo tertarik pula untuk membuat al­bum kompilasi artis dan band In­donesia era rezim Orde Baru.


Dari pengalaman yang saya alami tersebut, saya bisa menyimpulkan bahwa sebetulnya musik Indonesia memang tak kalah bersaing dengan musik mancanegara.
Keyakinan itu kian menjadi setelah baru-baru ini pada 8 Maret 2011 Now Again Record merilis kompilasi musik pop/rock/psychedelic Indonesia dari kurun waktu 1970-1978 dengan tajuk Those Shocking Shaking Days Indonesian Hard, Psychedelic Progressive Rock and Funk 1970-1978. Album ini berisikan sekitar 20 lagu, antara lain dibawakan Panbers, Koes Plus, Kribo, Shark Move, Para­mour, AKA, The Brim's, Ivo's Group, Murry's Group, Gang Of  Harry Roesli, Golden Wings, Black Brothers, dan Freedom of Rhapsodia.


Kita pun patut berbangga terhadap apresiasi dunia internasional terhadap karya-karya pemusik Indonesia. Hanya disayangkan, justru yang berupaya melestarikan karya musik Indonesia adalah bangsa asing, bukan kita.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
 
Sumber : Harian Media Indonesia tanggal 14 Mei  2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar