Kamis, 10 Maret 2011

Singa Hijau Asia


Komitmen dan konsistensi dalam mengelola sumber daya alam secara lestari mengantarkan Singapura menjadi kota terhijau di Asia.


Oleh : Aries Munandar
Singapura di akhir pekan (13/2) terasa semarak. Belasan layangan hias mengudara di antara tempias jingga pancaran mentari di penghujung senja.  Keceriaan terpancar dari wajah para pemain ketika menyaksikan layangan mereka menukik, meliuk, dan menari mengikuti hembusan angin.
Belasan layangan hias itu mengudara dari Marina Green Roof, salah satu tempat favorit warga Singapura saat mengisi liburan di akhir pekan. Taman seukuran hampir setengah luas lapangan sepak bola itu juga dipadati pengunjung lainnya. Mereka asyik bercengkerama bersama kolega sambil berlesehan di hamparan rumput hijau.
Marina Green Roof berada di atap sebuah komplek galeri berlantai tiga di kawasan Ben­dungan Marina (Marina Barrage). Bendungan senilai Rpl,5 triliun ini menjadi salah satu Sumber bahan baku air bersih dan memasok sekitar 30% kebutuhan Singapura.
Marina Green Roof punya banyak fungsi. Di samping sebagai peredam panas matahari sehingga menghemat penggunaan pendingin ruangan, areal terbuka hijau ini berfungsi sebagai tempat rekreasi.
Jadi, selain merasakan manfaat air hasil olahan, masyarakat bisa menikmati keuntungan lain dari keberadaan bendungan, yakni sebagai sarana hiburan. Sebab, di kawasan ini juga tersedia beragam wahana permainan air.
"Ini salah satu cara mengedukasi masyarakat dan meningkatkan nilai tambah dari pemanfaatan sumber daya air. Sesuai moto kami, Water for All : Conserve, Value, Enjoy," kata Deputi Se­nior Direktur Pengembangan Industri, Badan Utilitas Umum Singapura (PUB) Michael Ton.
Bendungan Marina menjadi tandon air terbesar di Singapura, dengan luas kawasan mencapai 10 ribu hektare (ha) atau hampir seperenam luas negara tersebut. Fungsi utama bendungan yang berada di muara ini sebagai pengendali banjir dan sumber air tawar hasil penyulingan (desalinasi) air laut.
Memang, dalam beberapa tahun terakhir ini Singapura tengah bergiat menggarap berbagai potensi sumber daya air. Sejumlah skema kebijakan diimplementasikah untuk memenuhi

   Marina Bridge, Singapore
Dari Marina Bridge
 

kebutuhan air bersih, yang sampai saat ini hampir separuhnya masih dipasok dari Malaysia.  Keseriusan itu juga ditunjukkan melalui pembangunan instalasi air daur ulang, Changi Water Reclamation Plant. Instalasi ini mengolah air limbah rumah tangga dan industri agar dapat dimanfaatkan kembali seperti semula.  Changi Water Reclamation Plant menggunakan bioreaktor dalam proses pemurniani air dan memiliki stasiun pompa di kedalaman 72,5 meter di bawah permukaan tanah.
"Instalasi ini berdiri di ka­wasan seluas 32 ha dan berkapasitas produksi 800 ribu m3 per hari," kata Asisten Direktur Changi Water Reclamation Plant,  Yong Wei Hin, saat ditemui di lokasi, Senin pecan lalu.
Produk akhir Changi Water Reclamation Plant kemudian didisbrusikan ke sejumlah indus­tri pengolahan air bersih dan air dalam kemasan. Terdapat lima atap menampung  daur ulang tersebut.  Produk kelima pabrik ini dikenal dengan sebutan Newater. " "Newater memenuhi 30% kebutuhan air nasional.   Pada 2060, direncanakan kapasitas mereka akan ditingkatkan hingga tiga kali lipat sehingga mampu me­menuhi 50% kebutuhan air di Singapura," jelas Wei Hin.
Salah satu industri penghasil Newater berada satu lokasi de­ngan Changi Water Reclamation Plant di Changi. Industri milik The Sembcorp ini beroperasi sejak Juli 2009 dan berkapasitas produksi 228 ribu m3 atau 50 juta galon per hari. Industri ini diklaim sebagai pusa|t pemanfaatan air daur ulang terbesar didunia.
The Sembcorp Newater Plant menggunakan teknologi ultra­violet dan reverse osmosis untuk memproduksi air bersih dan siap dminum. Mereka memiliki 6.270 tabung membrane mikrofiltrasi dan 13.860 tabung membran reverse osmosis yang terkoneksi secara terpadu se­hingga menghemat kapasitas pemasangan hingga 98%.
Semua perangkat mereka dioperasikan secara otomatis dan hanya ada dua petugas yang bekerja di setiap sif.  Mereka memonitor system yang beroperasi selama 24 jam sehari.
Semua upaya itu dilakukan agar Singapura cepat menuju swasembada air dan melepaskan ketergantungan terhadap Malaysia. Pemerintah setempat manargetkan Negara itu mampu memenuhi semua kebutuhan air mereka pada 2061, bersamaan dengan berakhirnya seluruh  kontrak perdagangan air dengan Malaysia.
Konservasi dan upaya menuju swasembada air di Singapura mulai menampakkan hasil  Me­reka kini mampu rnemenuhi lebih dari separuh kebutuhan air sendiri.
Singapura juga memelihara dan membangun beberapa ka-wasan resapan air dan Area terbuka hijau. Ruang publik itu tersebar di berbagai pelosok kota itu dilakukan dan di antara gedung pencakar langit.  Begitu pula hutan kota dan pohon peneduh di kanan dan kiri jalan yang dibiarkan tumbuh hingga kedua tajuk me­reka bertemu.

Kota hijau
Keberhasilan Singapura dalam membangun kota yang ramah lingkungan mengundang perhatian dan decak kagum dunia internasional. Predikat kota terhijau atau paling ramah lingkungan di Asia salah satu bukti pengakuan internasional terhadap prestasi mereka.
Penghargaan itu hasil riset dalam Asian Green City Index, yang diumumkan di Singapura pada Senin (14/2) pekan lalu. Singapura secara meyakinkan mampu mengungguli 21 kota besar lainnya di Asia yang masuk dalam penilaian. Kota ini dinilai berhasil terutama dalam menerapkan efisiensi pengelolaan air dan limbah.
Emisi CO2 di Singapura yang mencapai 7,4 ton per kapita masih berada di atas rata-rata kota di asia (4,6 ton per kapita).  Namun saya yakin Singapura mampu mengatasi tantangan itu’” kata anggota Dewan Direksi Siemens AG Barbara Kux. 
Keyakinan Kux ini  beralasan mengingat kuataya komitmen dan inisiatif pemerin tah Singapura dalam melestarikan lingkungan.  Sejak merdeka pada 1965 mereka secara berkesinambungan melakukan berbagai upaya dan inovasi guna mewuiudkan keseimbangan ekosistem.
Komitmen itu tidak pernah mengendur, tetapi justru semakin terfokus pada bidang utama, seperti (pengelolaan) air, limbah, dan efisiensi energi," tegas Kepala Staf Pembangunan Berkelanjutan Siemens AG tersebut.
Asian Green City Index adalah sebuah penelitian yang dilakukan lembaga riset independen Economist Intellegence Units (EIU) yang disponsori Siemens. Penelitian ini juga melibatkan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (EOCD), Bank Dunia, dan jaringan pemerintah lokal Asia, CttyNet
"Studi tentang kota-kota di Asia menunjukkan satu hal (menarik), yakni pendapatan tertinggi tidak selalu tertinggi pula dalam mengosumsi sumber daya alam,” ungkap Kepala Riset Asian Green City dari EIU Jan Friederich.
Kriteria kota ramah lingkungan dalam penelitian ini meliputi penggunaan energi dan produksi karbon dioksida, sistem transportasi, penggu­naan lahan dan bangunan, serta pengolahan limbah. Selain itu, pengelolaan air bersih; sanitasi, kualitas udara, dan tata kelola lingkungan juga menjadi indicator penilaian.
"Sebagian besar kota di Asia memiliki kesadaran dan kebijakan komprehensif mengenai (pengelolaan) lingkungan. Perbedaan mereka hanya terletak pada kemampuan melaksanakan dan menegakkan aturan tersebut," jelas Friederich. (M-4).

Keterangan Gambar : sebagai ilustrasi yang diambil dari internet
Sumber bacaan : Harian Media Indonesia tanggal 1 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar