Gombloh meringis, sekujur tubuhnya basah kuyup diguyur pegawai salon. Kepalanya bergerak ke sana-kemari tapi, ia tidak bisa lari, ia baru tenang tatkala tubuhnya diusap kain lebar yang fungsinya memang mirip handuk, untuk mengeringkan Gombloh.
Oleh : Tosiani
Selesai dikeringkan, kuku dan tanduk kambing etawa pejantan berumur setahun itu dipotong. Gombloh terus meronta. Kakinya memutar ke kanan dan kiri. "Pemotongan kuku supaya kambing terhindar dari penyakit ternak. Tanduk yang runcing membahayakan peternak dan kambing itu sendiri," urai Edy.
Selang beberapa saat kemudian, Gombloh Baru rileks. Pegawai mengoleskan obat, ia pun bak putri Solo yang menikmati luluran.
Salon khusus kambing itu terletak di kompleks peternakan kambing etawa milik Kelompok Usaha Bersama Ngudi Raharjo. Lebih tepatnya Desa Gandokan, Kranggan, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah.
Sejak didirikan pada Mei 2009, salon telah. Namun karena belum popular mereka baru memberikan perawatan kepada sekitar 115 kambing peliharaan para peternak di kelompok tersebut. Pegawai salon juga masih anggota Kelompok Usaha Bersama Ngudi Raharjo. Mereka berjumlah 15 orang dan seluruhnya adalah warga Kecamatan Kranggan.
Ke depan, menurut Sekretaris Kelompok Usaha Bersama Ngudi Raharjo, Arif Wicaksono, 30, mereka berniat mengembangkan salon dengan orientasi 'profit tinggi. Artinya mengincar konsumen berupa kambing-kambing etawa di luar lingkup kelompok.
Kenapa hanya kambing etawa? Jawabannya karena kambing biasa, atau si kambing gembel, tidak terbiasa dimandikan dan diberi perawatan.
Sebaliknya, perawatan sangat penting diberikan kepada kambing etawa sebab kambing yang terawat baik bisa laku dengan harga tinggi. Terutama jika kambing etawa diikutkan pameran, konsumen bisa menawar yang terawat hingga ratusan juta rupiah. Wow!
"Bahkan, waktu ada pameran kambing etawa Si Camping, Yogyakarta, beberapa waktu lalu, kambing yang terawat baik dengan usia produktif hingga 1,5 tahun bisa laku di kisaran harga antara Rpl50 juta dan Rp350 juta per ekor. Sangat menggiurkan, makanya perlu dirawat di salon kambing.” katanya.
Penghasilan tinggi
Untuk itulah, lelaki yang akrab dipanggil. Soni itu mengatakan meski kelompoknya belum memperoleh penghasilan murni dari salon kambing, para anggota masih bisa mendapat penghasilan tinggi.
Selain harga kambing fantastis, anggota kelompok tani ternak itu bisa mengantongi penghasilan tetap rata-rata Rpl juta-Rpl,2 juta per bulan. Hasil itu didapat dari penjualan susu kambing etawa dan pupuk hasil fermentasi limbah kambing. Pupuk dari limbah cair atau urine kambing dijual Rp6.000 per liter. Adapun pupuk dari limbah padat dijual Rpl .000 /kg.
Bapak satu anak ini mengatakan sebenarnya produksi limbah amat banyak. Sekitar 1.000 liter per bulan untuk limbah cair dan 5 ton limbah padat berhasil dikumpulkan selama enam bulan, Sayngnya, personel kelompok tani ternak masih terbatas.
Dengan tenaga yang sedikit, mereka belum mampu memproduksi pupuk dalam jumlah besar. "Pemasarannya masih di wilayah Temanggung saja, tapi itu pun sudah laku keras.” katanya.
Adapun produksi susu belum banyak. Pasalnya kambing yang memproduksi susu di tempat itu baru delapan ekor. Tiap ekor menghasilkan 0,5-1 liter per hari, dan produksi susu kambing etawa dijual seharga Rp30 ribu per liter. Meski demikian, penghasilan dari penjualan kambing yang dan dirawat produksi susu dan pupuk organic sudah mampu menumbuhkan perekonomian anggota kelompok.
Kondisi ini berbeda jauh dari saat mereka masih bertani dan beternak secara tradisional dengan kambing biasa.
"Kalau dulu, waktu masih tanam sayur dan padi, penghasilan kami hanya berkisar Rpl juta-Rp2 juta per orang. Itu pun hanya saat panen, yakni tiga bulan untuk sayuran dan enam bulan untuk padi. Paling ditambah hasil jual kambing kalau sudah dipelihara satu tahun sekitar Rpl juta per ekor," katanya.
Sejak 2008, sebuah program pemerintah bertajuk Viati, tentang pengolahan produksi ternak, menyentuh kelompok tersebut.
Program itu dikelola pihak desa, lantas setahun setelahnya sebagian petani peternak memutusktan untuk beternak kambing etawa.
Pertimbangan mereka kambing itu lebih menguntungkan dari segi harga dan kegunaan produksinya.
Kambing etawa grade (kelas) A artinya kambing yang secara spesifik tinggi, panjang, dan bentuk kepalanya ideal, yakni panjang sekitar 1 meter, dan tinggi 70 cm, minimal bisa laku Rp5 juta per ekor.
Kambing etawa kelas B dengan tinggi, panjang, dan bentuk kepala kurang ideal laku dengan harga minimal Rp3 juta per ekor. Kambing tak ideal atau kelas C laku di kisaran harga Rpl juta-Rp2 juta per ekor.
Sumber bacaan : Harian Media Indonesia tanggal 22 Oktober 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar