Sabtu, 21 Desember 2013

Pembongkaran Vila Liar di Kawasan Puncak Bogor



Dikemas oleh Isamas54
Banyak vila liar di kawasan Puncak Bogor yang perlu segera dibongkar.

Yang disebut Kawasan Puncak Bogor adalah wilayah yang bermula dari pertigaan Ciawi di Kabupaten Bogor hingga Cimacan di Ka­bupaten Cianjur.  Kawasan ini adalah merupakan sumber air sekaligus dan pengendali banjir atau penyangga bagi wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.  Namun disamping itu kawasan ini juga merupakan wisata yang memegang peranan vital bagi Jakarta, karena sebagai tempat berlibur yang relatif dekat bagi warga Jakarta.


Sehingga tidak heran atau sudah dianggap normal kalau menjelang hari liburan panjang antrean kendaraan dari gerbang Tol Ciawi menuju Puncak bisa mencapai 3 kilometer, dimana petugas memberlakukan sistem satu arah tiga kali (yaitu pada pagi, siang, dan sore hari), dengan jumlah kendara­an yang masuk dan keluar dari Puncak bisa mencapai 25 ribu unit.
Dengan demikian maka tidak heran kalau pembangunan di sini marak baik untuk tempat usaha maupun untuk tempat beristirahat.  Tentu bagi orang yang berduit sangat menarik untuk membangun tempat milik yang dalam kenyataannya pada hari biasa hanya ditunggui tukang kebun.  Dalam pembangunan ini banyak yang tidak mengindahkan tata ruang dan guna lahan, sehingga kawasan yang memesona ini justru bisa semakin berpotensi memicu bencana seperti terjadinya banjir, longsor, dan kekurangan air bersih di ka­wasan Puncak serta sekitarnya.

Data umum
(1.1).  Kawasan Puncak Bogor berada di wilayah Gunung Gede dan Pangrango, yang berada di wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Ciawi, Megamendung, Cijeruk, Cigombong, Sukaraja Cijayanti, dan Cisarua), serta Kabupaten Cianjur (Kecamatan Pacet dan Cipanas).  Di tepi jalan utama Ciawi-Cimacan sepanjang 29,5 kilometer itu dipenuhi bangunan, setidaknya ada 2 rumah sakit dan 20 klinik ataupun praktik bidan, 7 SPBU, 21 minimarket, serta ratusan rumah makan dan hotel. Ketika menelusuri jalan sempit ataupun gang di kiri dan kanan jalan utama, ditemukan lebih banyak lagi vila yang disewakan.


(1.2).  Kawasan terpadat di Kecamat­an Cisarua Di kawasan berpenduduk 113.833 jiwa ini, ada beberapa obyek wisata terkenal, seperti Taman Safari Indonesia dan Taman Wisata Matahari. Monografi Kecamatan Cisarua menunjukkan, hingga Desember 2010, ada 173 penginapan di luar vila, 133 tempat makan, dan 7 pasar.
(1.3).  Infrastruktur uta­ma (seperti jalan, trotoar, dan lahan parkir), masih kurang memadai, karena sebagian besar trotoar beralih fungsi menjadi areal parkir, warung dan lapak pedagang kaki lima (PKL).  Selain itu saluran air di pinggir jalan pun tidak terurus.  Hasil survei tim Kecamatan Cisarua (2011)  menemukan di kawasan Puncak ini terdapat 1.117 PKL yang harus ditertibkan.
(1.4).  Setiap akhir pekan atau hari libur kawasan Puncak bertambah sesak, ketika iring-iringan mobil, sepeda motor, dan bus wisata memadati kawasan ini. Berdasarkan data dari petugas Gerbang Tol Ciawi (awal Maret 2011), sepanjang Sabtu pukul 06.00 hingga Minggu pukul 06.00, mobil yang menuju Puncak mencapai sekitar 25.000 an unit kendaraan, di luar sepeda motor yang tak bisa terpantau.
(1.5).  Menurut data Dinas Tata Bangunan dan Permukiman Kabupaten Bogor 2010, dari 59.486 bangunan di Kecamatan Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, baru 12.844 bangunan yang memiliki izin mendirikan bangunan atau sekitar seperlimanya
(1.6).  Hutan yang tersisa di Puncak terus tergerus untuk pembangunan vila dan perluasan pemukiman warga tanpa izin. Berdasarkan data Pusat Pengkajian, Perencanaan, dan Pengembangan Wilayah IPB (P4WIPB), pada tahun 2008 ada 216,85 hektar hutan konservasi yang dimanfaatkan sebagai perkebunan permukiman vila, dan semak terbuka. Inkonsistensi tata ruang terburuk terjadi di Kecamatan Cisarua. Dari 7,406,3 hektar luas kawasannya, sebanyak 1.742,58 hektar lahan melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten Bogor 2005-2025.
(1.7).  Jumlah viIa liar di kawasan Puncak semakin meningkat tiap tahunnya yaitu  2009 (112 buah), 2010 (163 buah), 1011 (200 buah), dan 1012 (300 buah)

Sempat memudar




Ketika tol Jakarta-Cipularang beroperasi 12 Juli 2005, pemilik usaha di kawasan wisata pegunungan itu sempat khawatir. Kalau Jakarta-Bandung hanya 2 jam dan Jakarta-Puncak juga 2 jam, warga Ibu Kota akan banting setir ke Bandung.
Nyatanya memang demikian, semakin banyak warga Jakarta yang membanjiri Bandung pada akhir pekan sehingga tidak heran kalau banyak warung atau rumah makan di jalur Bogor-Puncak-Bandung terpaksa tutup atau menurun omsetnya.  Meski demikian, Puncak tak pernah sepi
Eksotisme Puncak tak pernah pudar, pegunungan yang menggambarkan perempuan cantik sedang berbaring itu tetap memesona dan dicintai.  Kemegahan vila-vila laksana lipstik di wajah perempuan cantik itu. Ada vila yang menjulang tinggi, banyak pula yang melebar ke samping dan meluas ke belakang. Juga tidak luput banyak vila yang berdiri di tengah-tengah 'kerumunan' rumah-rumah kumuh penduduk asli.

Bangunan dan perijinan
Di wilayah Puncak yang termasuk Kabupaten Bogor ini, misalnya di wilayah kawasan Desa Megamendung Kecamatan Megamendung, antara lain terdapat lahan seluas 25 hektare bekas kebun teh milik PT Perkebunan Ciliwung yang telah berubah menjadi milik perorangan sejak 1990. Vila berdiri kukuh di ketinggian 700 meter di atas permukaan laut, dengan lereng hutan pinus berkemiringan 30-45 derajat. (mediaindonesia.com 2011/11/25).
Menurut data Dinas Tata Bangunan dan Permukiman (DTBP, 2010) Kabupaten Bogor, di tiga kecamatan bagian selatan Kabupaten Bogor yang meliputi Ciawi, Megamendung, dan Cisarua, terdapat 59.486 bangunan vila, hotel, serta rumah penduduk.  Dari data tersebut, baru 12.844 bangunan yang memiliki izin mendirikan bangunan, misalnya di Desa Cilember-Kecamatan Cisarua sudah terdapat 150 unit vila yang hanya beberapa yang memiliki izin.
Hanya berjarak 1-2 kilometer dari vila-vila mewah tersebut, menghampar rumah-rumah penduduk yang reyot, nyaris ambruk, dan tanpa listrik.

Pembongkaran vila
Untuk memperbaiki kembali kawasan tersebut antara lain melakukan pembongkaran vila-vila yang melanggar ketertiban umum, dibangun di atas lahan milik Negara, tidak memiliki IMB,  berada di kawasan konservasi dan atau terletak di daerah resapan air.


Imbauan untuk membongkar vila-vila ini sebenarnya sudah lama didengungkan, bahkan Pemerintah Kabupaten Bogor pun pernah melaksanakannya, namun jumlah vila yang dibongkar sangat kecil dibandingkan dengan jumlah bangunan-bangunan baru yang muncul di kawasan Puncak. 
Setelah ada Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan Cianjur, baru ada langkah penataan serius. Penyegelan vila-vila di lahan konservasi ba­nyak dilakukan. Namun penertiban tidak bisa berjalan cepat karena pemiliknya masih diberi waktu untuk membongkar propertinya dan pindah.

Perundang-undangan
Adapun perundangan yang mendukung pembongkaran adalah : UU No 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; UU No 41 tentang Kehutanan; UU No 5 Tahun 1990 tentang Sumber Daya Hayati dan Ekosistem; Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelotaan Lingkungan Hidup (PPLH); Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2008 tentang Tata Ruang Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, dan_Cianjur; Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 2009 yang mengatur penyusunan RTRW dan pengendalian pemanfaatan ruang

Target dan proses pembongkaran
Sedangkan target pembongkaran bangunan vila liar di tahun 2013 adalah sebanyak 60 unit sudah dibongkar dari target 239 unit hingga akhir tahun. 
Proses pembongkaran
Februari 2013 : Sebanyak 267 pemilik vila dan bangunan yang tidak memiliki IMB ditegur melalui surat teguran pertama. Semua vila itu berada di tahan milik Perhutani yang merupakan lahan serapan air.
13 Maret 2013 : Pembongkaran vila di lahan milik Taman Nasional Gunung Halirnun dan Salak (TNGHS), tepatnya di kawasan wisata Gunung Salak Endah, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor, gagal diiaksanakan. Ratusan warga pendukung keberadaan vila ilegal itu bersiaga di sekitar kawasan Gunung Bunder. Negosiasi juga gagal dilakukan.
April 2013 : Dinas Tata Bangunan dan Permukiman (DTBP) Kabupaten Bogor melayangkan surat peringatan kedua kepada pemilik bangunan/vila liar tersebut.
26 Oktober 2013 : Pemerintah Kabupaten Bogor mengimbau agar para pemilik bangunan itegal, termasuk vila, di kawasan Puncak, Bogor, untuk membongkar sendiri bangunan mereka sebelum ditertibkan oleh petugas.
20 November 2013 : Sebanyak 21 vila liar dari 10 pemilik dibongkar di Kampung Sukatani, Desa Tugu utara, Kecamatan Cisarua.
25 November 2013 : Satuan Polisi Pamong Praja Kabupaten Bogor kembali membongkar bangunan dan vila liar di Kampung Sukatani, Kecamatan Cisarua. Kali ini sebanyak 41 bangunan, baik vila maupun tempat tinggal.

Bangunan yang kokoh
Salah satu bangunan yang liar dibongkar di kawasan Puncak adalah milik seorang petinggi sebuah perusahaan yang posisi bangunannya berada di puncak anak Gunung Pangrango di Kampung Sukatani Kecamatan Cisarua, Kabupaten Bogor, berada di ketinggian 1.600 m dpl di kemiringan 60%.  
Merupakan bangunan liar yang kokoh dan mewah berlantai empat ini berdiri di atas lahan seluas 2,3 hektare, dengan luas bangunan keseluruhan mencapai 500 meter persegi, dengan fasilitas antara lain kolam renang ukuran besar, panggung, dan heliped.  Nilai investasi bangun­an itu ditaksir mencapai Rp5 miliar,  Vila tersebut sudah berdiri sejak tujuh tahun lalu (2006), sang pemilik menyewakan vila dengan 14 kamar itu dengan harga antara Rp7 juta-Rpl5 juta per hari.  Karena berada di puncak gunung maka kemegahannya bisa terlihat mentereng sampai berkilo-kilo meter jauhnya dari jalan Raya Puncak.
Bangunan tersebut merupakan salah satu dari puluhan bangu­nan liar yang dibongkar oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kabupaten Bogor, sejak (25/11/2013) . Namun hingga 28/11/2013, bangunan tersebut masih kokoh bertahan, karena petugas mengalami kesulitan untuk membongkar vila itu. Jalanan yang sempit dan curam membuat alat berat sulit masuk. Selain itu, material bangunan terdiri dari beton dan besi-besi membuat pekerja sulit merobohkannya.  "Sudah hari ketiga, tapi masih utuh. Materialnya kuat," kata Kasatpol PP Kabupaten Bogor Dace Supriadi.
Pada awalnya, sang pemilik sempat menolak pembongkaran dan meminta waktu, alasannya karena vila itu bukan dikomersialkan, tetapi fasilitas dan isi bangunan belum jadi itu cukup membuat orang berdecak. Selain furnitur mewah, lengkap dengan home taater, di bagian dalam lantai bawah juga terdapat dua fasilitas phone banking.
Hingga tanggal 28 Nopember 2013 sore petugas sudah membongkar 75 bangunan liar dengan 31 pemilik.

Perlu kesadaran masyarakat
Menurut dosen Ilmu Lingkungan di Fakultas Teknik UI dan Universitas Pelita Harapan, Lim Bianpoen, pernah menjabat sebagai Kepala Penelitian dan Pengelolaan LH DKI Jakarta di era Gubernur Ali Sadikin, mengatakan (Kompas 23 Maret 2011) :
(2.1).  Terkadang masyarakat setempat tidak menyadari bahwa dengan menjual lahan miliknya, apabila tidak pandai mengelola uang maka akan semakin miskin dari sebelumnya, mereka banyak yang langsung membelanjakannya untuk kebutuhan sesaat, seperti membeli sepeda motor atau memperbaiki rumah.
(2.2).  Puncak yang semula merupakan tempat berlibur khususnya pada akhir pekan, berubah menjadi pusat kemacetan,. Warga Jakarta yang berlibur ke sana justru dihadapkan pada kema­cetan yang membuat mental dan fisik lelah luar biasa.
(2.3).  Dengan membiarkan Puncak ditumbuhi vila dan real estat baru, Puncak tidak lagi menjadi daerah tangkapan air, dan ini membahayakan Jakarta.
(2.4).  Kesalahan ini dilakukan oleh semua pihak Namun, yang paling besar andilnya dengan kerusakan yang terjadi di Puncak adalah peme­rintah daerah setempat.  "Mereka harus berani membongkar vila-vila itu. Toh, me­reka juga yang menikmati biaya pengurusan izin yang dikeluarkan oleh pemilik vila," katanya.
(2.5).  Terhadap penduduk setem­pat, pemerintah daerah juga ha­rus memberi pendampingan agar tidak mudah menjual tanah mereka. Pemerintah harus me­mastikan kaalitas hidup warganya tidak tergusur dan terus terjaga dengan baik.
(2.6).  Untuk memperbaiki ka­wasan Puncak, Bianpoen me­ngatakan ada langkah sementara yang bisa diambil sambil menunggu bangunan-bangunan itu dibongkar.  Langkah itu adalah memaksa pemilik bangunan membuat sumur resapan dan pemerintah setempat harus memastikan bahwa su­mur resapan itu benar-benar dibuat oleh para pemilik vila sesuai dengan bangunan yang dibangun.  Dicontohkan, jika seseorang mempunyai lahan seluas 1.000 meter persegi lalu di atasnya dibangun vila seluas 600 meter persegi, yang bersangkutan ha­rus membuat sumur resapan yang luas dinding resapannya mencapai 600 meter persegi.  "Dinding itu harus mempu­nyai lubang-lubang yang mampu menyalurkan air ke dalam tanah. Pembuatan sumur resapan ini harus diawasi secara ketat Pemerintah daerah jangan hanya percaya dengan pengakuan pemilik bangunan," tutur Bian­poen.

Dibantu DKI


Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta memberikan dana hibah kepada daerah penyangga meliputi Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Bodetabek) dengan nilai puluhan miliar rupiah untuk mengurangi risiko banjir.  Namun, yang menjadi perhatian serius dari Pemprov DKI ialah Kabupaten/Kota Bogor, Jawa Barat, karena kawasan Puncak-Bogor adalah merupakan hulu dari 13 sungai yang melintasi Ibu Kota.
Karena itulah maka Pemprov DKI memberikan tiap tahun dana hibah miliaran rupiah tiap kabupaten/kota madya. "Bahkan untuk 2013, dana hibah Pemprov DKI kepada Pemda Bogor sebesar Rp 8 Miliar dengan harapan agar pejabat Kabupaten/Kota Bogor membongkar vila-vila yang merusak lingkungan hutan di kawasan Puncak," kata Wakil Gubernur DKI Basuki Tjahaja Purnama (28/11/2013).

Sebagai catatan akhir :
"90% milik warga Jakarta. Awalnya untuk keluarga bersenang-senang pada akhir pekan. Lama-lama bosan, lalu disewakan. Sebagian vila dan hotel memang sudah dari awal dikomersialkan," jelas warga Desa Megamendung yang bertugas menjaga vila (2011).

Keterangan gambar : diambil dari internet
Sumber a.l : mediaindonesia.com 2011/11/25, Kompas 23/3/2011, Media Indonesia 29/11/2013

Bacaan lain
Wisata dan Kota Bogor  (dapat dilihat pada Topik/Label 'Bogor') 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar