Selasa, 21 Januari 2014

Banjir, Masalah yang Tidak Terselesaikan



Para pembuat kebijakan memerlukan visi yang jelas tentang alternatif, metode, serta perangkat untuk membantu memutuskan pilihan tindakan yang akan dilaksanakan. Pelaksanaan keputusan dalam penanganan banjir membutuhkan kepemimpinan yang prima.
Oleh : Surna Tjahja Djajadiningrat - Guru Besar Manajemen Lingkungan lnstitut Teknologi Bandung

BANJIR yang melanda hampir seluruh provinsi di Indonesia telah memakan ribuan korban jiwa dan harta benda.
Banjir dianggap sebagai fenomena alam dan ulah manusia. Dikatakan fenomena alam apabila sumber penyebabnya ialah intensitas curah hujan yang tinggi sebagai bagian dari siklus hidrologi. Siklus hidrologi diawali dengan menguapnya air laut menutupi atmos­fer dan kembali ke bumi sebagai hujan. Siklus hidrologi merupakan fenomena yang konstan, tetapi dari tahun ke tahun, tidak ter­jadi pada lokasi yang sama dan di beberapa lokasi mengalami curah hujan di atas rata-rata, sementara di tempat lain terjadi kekeringan.
Banjir ialah peristiwa ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan.  Aliran air dapat terjadi akibat curah hujan yang tinggi atau masuknya pasang laut ke daratan. Banjir diakibatkan oleh volume air di badan sungai atau danau yang meluap atau menjebol bendungan sehingga air keluar dari batasan alaminya. Ukuran badan air terus berubah-ubah sesuai perubahan curah hujan dan pencairan salju. Banjir di daerah permukaan rendah yang terjadi sebagai akibat hujan turun secara terus menerus dan muncul secara tiba-tiba dikenal sebagai banjir bandang.
Selama seratus tahun ini telah terjadi proses pemanasan global, yaitu meningkatnya suhu di atas rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Meningkatnya suhu global akan menyebabkan perubahan seperti naiknya permukaan laut, meningkatnya intensitas fenomena cuaca ekstrem, serta perubahan dan pola presipitasi.
Walaupun emisi gas rumah kaca telah stabil, besarnya kapasitas kalor laut akan tetap menyebabkan pemanasan global dalam kurun seribu tahun.
Pemanasan global berdampak pada cuaca, tinggi permukaan laut, pantai, pertanian, flora dan fauna, serta kesehatan manusia. Pemanas­an global di belahan utara bumi memanas lebih tinggi dari daerah-daerah lain. Akibatnya gunung es mencair, daratan lebih menciut, dan sedikit es yang terapung. Daerah yang biasanya mengalami salju yang tidak terlampau banyak akan kehilangan musim salju.
Di pegunungan daerah subtropis, bagian yang ditutup salju semakin sedikit serta semakin cepat mencair, Musim tanam akan lebih panjang di beberapa daerah dan suhu pada musim dingin dan malam hari cenderung meningkat. Aki­bat dari uap air yang merupakan gas rumah kaca sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada atmosfer sehingga Indonesia menjadi lebih lembab karena lebih ba­nyak air laut yang rnenguap, mening­katkan dan menurunkan permukaan yang lebih ekstrem.
Uap air yang lebih banyak akan membentuk awan lebih-banyak sehingga memantulkan cahaya matahari kembali ke ruang angkasa, dan menurunkan pemanasan. Kelembaban yang tinggi meningkatkan curah hujan sekitar 1% untuk setiap pemanasan 1 OF.
Badai lebih sering dan air cepat menguap dari tanah. Akibatnya, beberapa daerah menjadi lebih kering  ketimbang sebelumnya. Angin bertiup lebih kencang dengan pola berbeda. Topan badai men­jadi lebih sering dan juga suhu dingin terjadi. Pola cuaca semakin tidak terprediksi dan le­bih ekstrem.

Kerusakan ekosistem
Kenaikan suhu atmosfer meningkatkan suhu lapisan permukaan laut sehingga volumenya menjadi lebih besar dan meningkatnya permukaan laut. Pemanasan global mencairkan es di kutub, terutama sekitar Greenland  dan akan meningkatkan volu­me air laut.  Di abad ke-20, tinggi permukaan laut di dunia meningkat 10 cm-25 cm, dan pada abad ke-21 diprediksi akan kembali meningkat setinggi 9 cm-88 cm.
Bagi Indonesia, naiknya permukaan laut berdampak sernakin meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir terutama di perkotaan dan pantai, perubahan arus laut, ancaman terhadap kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan berkurangnya luas daratan serta tenggelamnya pulau-pulau kecil. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir memberikan efek kumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hu-jan terjadi dalam kurun waktu yang sama.
Kenaikan permukaan air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pe­sisir, juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, menurun dari 5 juta hektare (1982) menjadi kurang dari 2 juta hektare (2012). Apabila keberadaan hutan mangrove tidak dapat dilestarikan, abrasi akan pantai meningkat karena tidak adanya penahan gelombang, dan  pencemaran dari sungai ke laut meningka karena tidak adanya filter pencemar dan budi daya ikan terancam punah.
Gangguan kondisi sosial ekonomi masyaraka terus meningkat, antara lain terhadap jalur lali lintas di pantai utara Jawa, banjir di perkan toran di pantura Jawa, Sulawesi Timur, Sumatra Timur, Kalimantan Selatan, pesisir Papua dan lahan budi daya seperti sawah, payau, dan kolam ikan. Pada akhir abad ke-21, luasan kawasan pesisir hilang mencapai 202.500 hektar dan 2.000-4.000 pulau kecil tenggelam.
Bagi Indonesia naiknya permukaan air dan banjir diperparah oleh ulah manusia, seperti pengurangan luas hutan tropis sebagai akibai pengalihan hutan ke permukiman, pertanian perkebunan, pertambangan dan akibat kebakaran hutan. Pengalihan hutan tropis ke kegiatan lainnya menghambat proses vegetasi yang membantu menahan curah hujan turun langsung ke tanah. Masih rendahnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan dan kebiasaan buruk masyarakat dengan membuang sampah ke sungai terutama masyarakat yang tinggal di bantaran sungai, mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga tumpukan sampah mengaki­batkan berkurangnya kemampuan sungai untuk menyerap air dan air meluap dari badan sungai ke daratan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya, perluasan lahan permukiman terus terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi. Itu mengu-rangi ruang terbuka hijau sebagai lahan untuk penyerapan air hujan.
Menghadapi banjir di masa mendatang dibutuhkan pendekatan yang lebih holistis dalam mengelola banjir agar dapat bertahan terhadap ketidakpastian yang semakin tinggi atau harus dapat beradaptasi dengan keragaman penyebab banjir masa depan.

Pendekatan terintegrasi
Tantangan yang dihadapi dengan banyaknya tindakan nonstruktural perlu untuk melibatkan dan mendapatkan persetujuan para pemangku kepentingan. Sangat penting juga untuk mempertimbangkan masalah temporal dan ruang dalam menentukan strategi penanggulangan banjir. Perencanaan penggunaan lahan dan regulasi pengembangan merupakan aspek kunci dalam mengelola risiko banjir perkotaan. Perlu adanya pendekatan terintegrasi dalam mengelola risiko banjir perkotaan yang mengombinasikan tindakan-tindakan struktural dan nonstruktural.
Mendapatkan keseimbangan yang tepat antara tindakan struktural juga merupakan tantangan. Para pembuat kebijakan memerlukan visi yang jelas tentang alternatif, metode serta perangkat untuk membantu memutuskan pilihan tindakan yang akan dilaksanakan. Pelaksanaan keputusan da­lam penanganan banjir membutuhkan kepemimpinan yang prima.
Kebijakan serta pelaksanaan pengelolaan banjir sangat penting untuk mengaitkan risiko banjir dengan inisiatif yang berhubungan dengan penurunan kemiskinan, adaptasi terhadap perubahan iklim, dan dengan isu spesifik ten­tang perencanaan dan pengelolaan perkotaan seperti pengaturan perumahan, pemilikan tanah, pemtaangunan perkotaan dan ruang terbuka hijau. Solusi terhadap penurunan risiko banjir harus seiring dengan penciptaan kesempatan dan untuk mempromosikan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Terdapat 12 prinsip utama dalam pengelolaan risiko banjir di perkotaan : 1) Setiap skenario risiko banjir ialah kontekstual dan tidak ada cetak biru pengelolaan banjir, 2) Rancangan untuk mengelola banjir harus menyesuaikan dengan perubahan dan ketidakpastian masa depan, 3) Urbanisasi yang tumbuh cepat mem­butuhkan pengelolaan risiko banjir secara terintegrasi dengan rancangan tata kota dan tata laksananya, 4) Strategi terintegrasi membu­tuhkan tindakan struktural dan nonstruktural dengan cara pengukuran untuk dapat hasil yang tepat dan seimbang, 5) Tindakan struktural de­ngan rekayasa yang canggih dapat mengurangi risiko hulu dan hilir, 6) Kemungkinan untuk meniadakan risiko secara keseluruhan adalah mustahil. 7) Tindakan pengelolaan banjir yang terintegrasi akan menghasilkan manfaat ganda, 8) Penting untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis dalam pembiayaan penge­lolaan banjir, 9) Diperlukan kejelasan tentang penanggungjawab konstruksi dan pengelolaan program risiko banjir, 10) Implementasi penge­lolaan risiko banjir memerlukan kerja sama para pemangku kepentingan, 11) Perlu adanya komunikasi yang berkesinambungan untuk meningkatkan kesadaran dan memperkuat kesiapan rnenghadapi risiko banjir, 12) Perlu adanya rencana pemulihan secara cepat dan tepat setelah banjir untuk meningkatkan kapasitas masyarakat.

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber : artikel pada harian Media Indonesia tgl. 20 Januari 2014.

Bacaan terkait :
Sungai Ciliwung membelah Bogor dan Jakarta (atau lihat Topik/Label 'Jakarta') 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar