Para pembuat
kebijakan memerlukan visi yang jelas tentang alternatif, metode, serta
perangkat untuk membantu memutuskan pilihan tindakan yang akan dilaksanakan.
Pelaksanaan keputusan dalam penanganan banjir membutuhkan kepemimpinan yang
prima.
Oleh : Surna Tjahja
Djajadiningrat - Guru Besar Manajemen
Lingkungan lnstitut Teknologi Bandung
BANJIR yang melanda
hampir seluruh provinsi di Indonesia telah memakan ribuan korban jiwa dan harta
benda.
Banjir dianggap
sebagai fenomena alam dan ulah manusia. Dikatakan fenomena alam apabila sumber
penyebabnya ialah intensitas curah hujan yang tinggi sebagai bagian dari siklus
hidrologi. Siklus hidrologi diawali dengan menguapnya air laut menutupi
atmosfer dan kembali ke bumi sebagai hujan. Siklus hidrologi merupakan
fenomena yang konstan, tetapi dari tahun ke tahun, tidak terjadi pada lokasi
yang sama dan di beberapa lokasi mengalami curah hujan di atas rata-rata,
sementara di tempat lain terjadi kekeringan.
Banjir ialah
peristiwa ketika aliran air yang berlebihan merendam daratan. Aliran air dapat terjadi akibat curah hujan
yang tinggi atau masuknya pasang laut ke daratan. Banjir diakibatkan oleh
volume air di badan sungai atau danau yang meluap atau menjebol bendungan
sehingga air keluar dari batasan alaminya. Ukuran badan air terus berubah-ubah
sesuai perubahan curah hujan dan pencairan salju. Banjir di daerah permukaan
rendah yang terjadi sebagai akibat hujan turun secara terus menerus dan muncul
secara tiba-tiba dikenal sebagai banjir bandang.
Selama seratus
tahun ini telah terjadi proses pemanasan global, yaitu meningkatnya
suhu di atas rata-rata atmosfer, laut, dan daratan di bumi. Meningkatnya suhu
global akan menyebabkan perubahan seperti naiknya permukaan laut, meningkatnya
intensitas fenomena cuaca ekstrem, serta perubahan dan pola presipitasi.
Walaupun emisi gas
rumah kaca telah stabil, besarnya kapasitas kalor laut akan tetap menyebabkan
pemanasan global dalam kurun seribu tahun.
Pemanasan global
berdampak pada cuaca, tinggi permukaan laut, pantai, pertanian, flora dan
fauna, serta kesehatan manusia. Pemanasan global di belahan utara bumi memanas
lebih tinggi dari daerah-daerah lain. Akibatnya gunung es mencair, daratan lebih
menciut, dan sedikit es yang terapung. Daerah yang biasanya mengalami salju
yang tidak terlampau banyak akan kehilangan musim salju.
Di pegunungan
daerah subtropis, bagian yang ditutup salju semakin sedikit serta semakin cepat
mencair, Musim tanam akan lebih panjang di beberapa daerah dan suhu pada musim
dingin dan malam hari cenderung meningkat. Akibat dari uap air yang merupakan
gas rumah kaca sehingga keberadaannya akan meningkatkan efek insulasi pada
atmosfer sehingga Indonesia menjadi lebih lembab karena lebih banyak air laut
yang rnenguap, meningkatkan dan menurunkan permukaan yang lebih ekstrem.
Uap air yang lebih
banyak akan membentuk awan lebih-banyak sehingga memantulkan cahaya matahari
kembali ke ruang angkasa, dan menurunkan pemanasan. Kelembaban yang tinggi
meningkatkan curah hujan sekitar 1% untuk setiap pemanasan 1 OF.
Badai lebih sering
dan air cepat menguap dari tanah. Akibatnya, beberapa daerah menjadi lebih
kering ketimbang sebelumnya. Angin
bertiup lebih kencang dengan pola berbeda. Topan badai menjadi lebih sering
dan juga suhu dingin terjadi. Pola cuaca semakin tidak terprediksi dan lebih
ekstrem.
Kerusakan
ekosistem
Kenaikan suhu
atmosfer meningkatkan suhu lapisan permukaan laut sehingga volumenya menjadi
lebih besar dan meningkatnya permukaan laut. Pemanasan global mencairkan es di
kutub, terutama sekitar Greenland dan
akan meningkatkan volume air laut. Di
abad ke-20, tinggi permukaan laut di dunia meningkat 10 cm-25 cm, dan pada abad
ke-21 diprediksi akan kembali meningkat setinggi 9 cm-88 cm.
Bagi Indonesia,
naiknya permukaan laut berdampak sernakin meningkatnya frekuensi dan intensitas
banjir terutama di perkotaan dan pantai, perubahan arus laut, ancaman terhadap
kegiatan sosial-ekonomi masyarakat pesisir, dan berkurangnya luas daratan serta
tenggelamnya pulau-pulau kecil. Peningkatan volume air pada kawasan pesisir
memberikan efek kumulatif apabila kenaikan muka air laut serta peningkatan
frekuensi dan intensitas hu-jan terjadi dalam kurun waktu yang sama.
Kenaikan permukaan
air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir, juga
mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove, menurun dari 5 juta hektare (1982)
menjadi kurang dari 2 juta hektare (2012). Apabila keberadaan hutan mangrove
tidak dapat dilestarikan, abrasi akan pantai meningkat karena tidak adanya
penahan gelombang, dan pencemaran dari
sungai ke laut meningka karena tidak adanya filter pencemar dan budi daya ikan
terancam punah.
Gangguan kondisi
sosial ekonomi masyaraka terus meningkat, antara lain terhadap jalur lali
lintas di pantai utara Jawa, banjir di perkan toran di pantura Jawa, Sulawesi
Timur, Sumatra Timur, Kalimantan Selatan, pesisir Papua dan lahan budi daya
seperti sawah, payau, dan kolam ikan. Pada akhir abad ke-21, luasan kawasan
pesisir hilang mencapai 202.500 hektar dan 2.000-4.000 pulau kecil tenggelam.
Bagi Indonesia
naiknya permukaan air dan banjir diperparah oleh ulah manusia,
seperti pengurangan luas hutan tropis sebagai akibai pengalihan hutan ke
permukiman, pertanian perkebunan, pertambangan dan akibat kebakaran hutan.
Pengalihan hutan tropis ke kegiatan lainnya menghambat proses vegetasi yang
membantu menahan curah hujan turun langsung ke tanah. Masih rendahnya kesadaran
masyarakat terhadap lingkungan dan kebiasaan buruk masyarakat dengan membuang
sampah ke sungai terutama masyarakat yang tinggal di bantaran sungai,
mengakibatkan pendangkalan sungai sehingga tumpukan sampah mengakibatkan
berkurangnya kemampuan sungai untuk menyerap air dan air meluap dari badan
sungai ke daratan. Di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, dan Surabaya,
perluasan lahan permukiman terus terjadi seiring dengan pertumbuhan penduduk
yang tinggi. Itu mengu-rangi ruang terbuka hijau sebagai lahan untuk penyerapan
air hujan.
Menghadapi banjir
di masa mendatang dibutuhkan pendekatan yang lebih holistis dalam mengelola
banjir agar dapat bertahan terhadap ketidakpastian yang semakin tinggi atau
harus dapat beradaptasi dengan keragaman penyebab banjir masa depan.
Pendekatan
terintegrasi
Tantangan yang
dihadapi dengan banyaknya tindakan nonstruktural perlu untuk melibatkan dan
mendapatkan persetujuan para pemangku kepentingan. Sangat penting juga untuk
mempertimbangkan masalah temporal dan ruang dalam menentukan strategi
penanggulangan banjir. Perencanaan penggunaan lahan dan regulasi pengembangan
merupakan aspek kunci dalam mengelola risiko banjir perkotaan. Perlu adanya
pendekatan terintegrasi dalam mengelola risiko banjir perkotaan yang
mengombinasikan
tindakan-tindakan struktural dan nonstruktural.
Mendapatkan
keseimbangan yang tepat antara tindakan struktural juga merupakan tantangan.
Para pembuat kebijakan memerlukan visi yang jelas tentang alternatif, metode
serta perangkat untuk membantu memutuskan pilihan tindakan yang akan dilaksanakan. Pelaksanaan
keputusan dalam penanganan banjir membutuhkan kepemimpinan yang prima.
Kebijakan serta
pelaksanaan pengelolaan banjir sangat penting untuk mengaitkan risiko banjir
dengan inisiatif yang berhubungan dengan penurunan kemiskinan, adaptasi
terhadap perubahan iklim, dan dengan isu spesifik tentang perencanaan dan
pengelolaan perkotaan seperti pengaturan perumahan, pemilikan tanah,
pemtaangunan perkotaan dan ruang terbuka hijau. Solusi terhadap penurunan
risiko banjir harus seiring dengan penciptaan kesempatan dan untuk
mempromosikan pembangunan kota yang berkelanjutan.
Terdapat 12
prinsip utama dalam pengelolaan risiko banjir di perkotaan : 1) Setiap
skenario risiko banjir ialah kontekstual dan tidak ada cetak biru pengelolaan
banjir, 2) Rancangan untuk mengelola banjir harus menyesuaikan dengan perubahan
dan ketidakpastian masa depan, 3) Urbanisasi yang tumbuh cepat membutuhkan
pengelolaan risiko banjir secara terintegrasi dengan rancangan tata kota dan
tata laksananya, 4) Strategi terintegrasi membutuhkan tindakan struktural dan nonstruktural
dengan cara pengukuran untuk dapat hasil yang tepat dan seimbang, 5) Tindakan
struktural dengan rekayasa yang canggih dapat mengurangi risiko hulu dan
hilir, 6) Kemungkinan untuk meniadakan risiko secara keseluruhan adalah
mustahil. 7) Tindakan pengelolaan banjir yang terintegrasi akan menghasilkan
manfaat ganda, 8) Penting untuk mempertimbangkan dampak sosial dan ekologis
dalam pembiayaan pengelolaan banjir, 9) Diperlukan kejelasan tentang
penanggungjawab konstruksi dan pengelolaan program risiko banjir, 10)
Implementasi pengelolaan risiko banjir memerlukan kerja sama para pemangku
kepentingan, 11) Perlu adanya komunikasi yang berkesinambungan untuk
meningkatkan kesadaran dan memperkuat kesiapan rnenghadapi risiko banjir, 12)
Perlu adanya rencana pemulihan secara cepat dan tepat setelah banjir untuk
meningkatkan kapasitas masyarakat.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber
: artikel pada harian Media Indonesia tgl. 20 Januari 2014.
Bacaan terkait :
Sungai Ciliwung membelah Bogor dan Jakarta (atau lihat Topik/Label 'Jakarta')
Bacaan terkait :
Sungai Ciliwung membelah Bogor dan Jakarta (atau lihat Topik/Label 'Jakarta')
Tidak ada komentar:
Posting Komentar