Selasa, 22 Mei 2012

Perempuan Politik dan Politisi


Kesadaran politik perempuan semestinya sinergi dengan gerakan sosial dalam berjuang membela nasib orang-orang yang tertindas akibat didera impitan ekonomi negeri yang penuh ketidakpastian.

Oleh : David Krisna Alka - Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah; Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity

Lihatlah di republik ini : 5,3 juta perempuan di atas usia 15 tahun masih buta aksara karena sulitnya mengakses pendidikan. Jutaan perempuan pun rentan penyakit yang identik dengan kemiskinan. Kasus-kasus semacam TBC, gizi buruk, malaria, disentri, dan kematian ibu saat melahirkan masih sangat tinggi. Contoh teladan perempuan politisi di ne­geri ini sangat diperlukan.
Dalam politik memang tidak mengenal jenis kelamin. Namun, wacana politik Indonesia melulu didominasi pria. Aktor politik pe­rempuan sering kali berada da­lam posisi yang sulit untuk berju­ang menegakkan derajat hak politiknya. Aktor politik perempuan acapkali di tepi dan mereka ber­juang tanpa embel-embel keturunan sebagai ratu dari sebuah dinasti elite politik
Di sisi lain, kultur maskulin tubuh partai politik menghambat gerakan kemajuan politik perem­puan. Di sinilah tantangan bagi perempuan politisi untuk lebih meningkatkan kapasitas, kualitas, dan tentu moralitas. Mereka harus menolak terhadap rayuan dan godaan sebagai mediator pa­ra koruptor.
Hampir setiap partai sudah melakukan berbagai upaya meningkatkan peran perempuan dalam politik dan kapasitas kader perempuannya. Kelahiran regulasi untuk memperkuat keterwakilan perempuan di parlemen melalui UU No 2/2011 tentang Partai Politik Dalam UU itu secara eksplisit diwajibkan ada 30 persen perempuan dalam struktur pengurus harian parpol.
Dalam Pasal 55 Ayat 2 UU No 10/2008 tentang Pemilu, ada penegasan bahwa di antara tiga nama dalam daftar caleg harus ada minimal satu caleg perem­puan. Namun, kuota 30 persen untuk perempuan itu seakan sia-sia. Aktor politik perempuan acapkali tersumbat kultur politik yang maskulin, primordial, dan elitis. Maka, timbul pertanyaan : apa guna perempuan berpolitik?

Rahim politik
Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri memang telah mengukir sejarah panggung po­litik Indonesia. Meskipun mewarisi nama besar Bung Karno, tak salah untuk diapresiasi. Me­gawati adalah perempuan pertama yang pernah menjadi presiden di republik ini.
Ong Hok Ham (2002:212) pernah bercerita mengenai catatan simpatik kepemimpinan perem­puan di Asia. Di Vietnam, Truong bersaudari dianggap sebagai pahlawan nasional dan cikal-bakal nasionalisme Vietnam. Selain itu, Menteri Luar Negeri Vietcong juga seorang perempuan. Viet­nam sangat berkebudayaan Konfusianis dan memfokuskan diri pada peran lelaki, tetapi mereka melihat perempuan sebagai unsur propaganda terbaik bagi aspirasi revolusioner.
Dalam konteks sejarah perjuangan perempuan di Tanah Air, RA Kartini menjadi ikon yang diperingati setiap tahun di negeri ini. Namun, hendaknya itu bukan sekadar momen karikatif bagi perjalanan perjuangan politik pe­rempuan. Di tengah riuh suara politik lelaki yang mengisi ruang politik, semestinya kekuatan po­litik perempuan mampu lebih unjuk peduli dalam memperjuangkan ribuan, bahkan jutaan perempuan yang kelam masa depan.
Kultur politik itu adalah hasil reproduksi dan rekonstruksi. Dalam hal ini, pesona kreatif (pe­rempuan) memiliki kekuatan transformatif dan transendensi yang mampu mengubah kultur. Seperti yang kita ketahui, terdapat beberapa kelompok yang mampu mengubah masyarakat dan bangsa, yaitu pimpinan karismatik, politisi, dan tokoh intelektual.
Oleh karena itu, perubahan yang dilakukan kekuatan politik perempuan ataupun kelompok elite politik perempuan memiliki kemungkinan yang tinggi untuk diterima masyarakat. Harapannya, perubahan yang dilakukan kekuatan politik perempuan me­miliki kemungkinan yang tinggi untuk diterima secara lebih bermakna oleh masyarakat politik.

Sepasang sayap burung
Persepsi tentang lelaki dan pe­rempuan memang mempunyai kekuatan substansial dalam per­ubahan perilaku. Namun, perempuan mempunyai kekuatan dalam menggerakkan dan mendorong kekuatan-kekuatan nyata yang ada dalam masyarakat. Bung Karno pernah mengungkapkan perumpamaan bahwa pria dan wanita adalah sepasang sayap burung. Kedua sayap itu berjalan tak timpang dan dapat terbang dengan lancar.
Clara Zetkin (1857-1933), pencetus Hari Perempuan Sedunia, pernah mengatakan, mesin-mesin yang merupakan alat produksi modern perlahan-lahan mematikan produksi domestik dan membuat ribuan perempuan bertanya, "Di manakah kita akan mencari makan sekarang?".

Keterangan gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber bacaan :  Kompas tgl. 4 Mei 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar