Kesadaran politik
perempuan semestinya sinergi dengan gerakan sosial dalam berjuang membela nasib
orang-orang yang tertindas akibat didera impitan ekonomi negeri yang penuh
ketidakpastian.
Oleh : David Krisna
Alka - Aktivis Jaringan Intelektual
Muda Muhammadiyah; Peneliti Maarif Institute for Culture and Humanity
Lihatlah di
republik ini : 5,3 juta perempuan di atas usia 15 tahun masih buta aksara
karena sulitnya mengakses pendidikan. Jutaan perempuan pun rentan penyakit yang
identik dengan kemiskinan. Kasus-kasus semacam TBC, gizi buruk, malaria,
disentri, dan kematian ibu saat melahirkan masih sangat tinggi. Contoh teladan
perempuan politisi di negeri ini sangat diperlukan.
Dalam politik
memang tidak mengenal jenis kelamin. Namun, wacana politik Indonesia melulu
didominasi pria. Aktor politik perempuan sering kali berada dalam posisi yang
sulit untuk berjuang menegakkan derajat hak politiknya. Aktor politik
perempuan acapkali di tepi dan mereka berjuang tanpa embel-embel keturunan
sebagai ratu dari sebuah dinasti elite politik
Di sisi lain,
kultur maskulin tubuh partai politik menghambat gerakan kemajuan politik perempuan.
Di sinilah tantangan bagi perempuan politisi untuk lebih meningkatkan kapasitas,
kualitas, dan tentu moralitas. Mereka harus menolak terhadap rayuan dan godaan
sebagai mediator para koruptor.
Hampir setiap
partai sudah melakukan berbagai upaya meningkatkan peran perempuan dalam
politik dan kapasitas kader perempuannya. Kelahiran regulasi untuk memperkuat
keterwakilan perempuan di parlemen melalui UU No 2/2011 tentang Partai Politik
Dalam UU itu secara eksplisit diwajibkan ada 30 persen perempuan dalam struktur
pengurus harian parpol.
Dalam Pasal 55 Ayat
2 UU No 10/2008 tentang Pemilu, ada penegasan bahwa di antara tiga nama dalam
daftar caleg harus ada minimal satu caleg perempuan. Namun, kuota 30 persen
untuk perempuan itu seakan sia-sia. Aktor politik perempuan acapkali tersumbat
kultur politik yang maskulin, primordial, dan elitis. Maka, timbul pertanyaan :
apa guna perempuan berpolitik?
Rahim politik
Ketua Umum PDI-P
Megawati Soekarnoputri memang telah mengukir sejarah panggung politik
Indonesia. Meskipun mewarisi nama besar Bung Karno, tak salah untuk
diapresiasi. Megawati adalah perempuan pertama yang pernah menjadi presiden di
republik ini.
Ong Hok Ham (2002:212) pernah
bercerita mengenai catatan simpatik kepemimpinan perempuan di Asia. Di
Vietnam, Truong bersaudari dianggap sebagai pahlawan nasional dan cikal-bakal
nasionalisme Vietnam. Selain itu, Menteri Luar Negeri Vietcong juga seorang
perempuan. Vietnam sangat berkebudayaan Konfusianis dan memfokuskan diri pada
peran lelaki, tetapi mereka melihat perempuan sebagai unsur propaganda terbaik
bagi aspirasi revolusioner.
Dalam konteks
sejarah perjuangan perempuan di Tanah Air, RA Kartini menjadi ikon yang
diperingati setiap tahun di negeri ini. Namun, hendaknya itu bukan sekadar
momen karikatif bagi perjalanan perjuangan politik perempuan. Di tengah riuh
suara politik lelaki yang mengisi ruang politik, semestinya kekuatan politik
perempuan mampu lebih unjuk peduli dalam memperjuangkan ribuan, bahkan jutaan
perempuan yang kelam masa depan.
Kultur politik itu
adalah hasil reproduksi dan rekonstruksi. Dalam hal ini, pesona kreatif (perempuan)
memiliki kekuatan transformatif dan transendensi yang mampu mengubah kultur.
Seperti yang kita ketahui, terdapat beberapa kelompok yang mampu mengubah
masyarakat dan bangsa, yaitu pimpinan karismatik, politisi, dan tokoh
intelektual.
Oleh karena itu,
perubahan yang dilakukan kekuatan politik perempuan ataupun kelompok elite
politik perempuan memiliki kemungkinan yang tinggi untuk diterima masyarakat.
Harapannya, perubahan yang dilakukan kekuatan politik perempuan memiliki
kemungkinan yang tinggi untuk diterima secara lebih bermakna oleh masyarakat
politik.
Sepasang sayap
burung
Persepsi tentang
lelaki dan perempuan memang mempunyai kekuatan substansial dalam perubahan
perilaku. Namun, perempuan mempunyai kekuatan dalam menggerakkan dan mendorong
kekuatan-kekuatan nyata yang ada dalam masyarakat. Bung Karno pernah
mengungkapkan perumpamaan bahwa pria dan wanita adalah sepasang sayap burung.
Kedua sayap itu berjalan tak timpang dan dapat terbang dengan lancar.
Clara Zetkin
(1857-1933), pencetus Hari Perempuan Sedunia, pernah mengatakan, mesin-mesin
yang merupakan alat produksi modern perlahan-lahan mematikan produksi domestik
dan membuat ribuan perempuan bertanya, "Di manakah kita akan mencari makan
sekarang?".
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber
bacaan : Kompas tgl. 4 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar