Untuk mewujudkan
kemandirian bangsa dibutuhkan inovasi-inovasi ilmu pengetahuan dan teknologi.
Menguasai iptek akan memberi nilai tambah.
Oleh : Siswantini Suryandari
Sepuluh Agustus, 17
tahun yang lalu, tercatat sebuah peristiwa bersejarah yang menjadi penanda
lahirnya karya teknologi anak bangsa di Kota Bandung, Jawa Barat. Saat itu dicanangkan penerbangan perdana pesawat
terbang N-250 Gatotkaca, yang dibuat anak bangsa.
Pesawat tersebut
merupakan produksi Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), yang kini
menjadi PT Dirgantara Indonesia. Hal menarik dari pesawat Gatotkaca N-250 itu
ialah menggunakan teknologi fly by wire yang cukup canggih dan belum pernah
ada di kelasnya saat itu.
IPTN yang didirikan
pada 1976 telah membuat pesawat dan helikopter dengan lisensi dari perusahaan
pesawat lainnya, yakni C-212 yang merupakan pesawat lisensi dari CASA Spanyol.
Kemudian ada NC-212 yang merupakan pengembangan dari pesawat tersebut.
IPTN terus
memproduksi pesawat komersial lainnya yang lebih besar, seperti CN-235 yang
diberi nama Tetuko. RancangbangunTetuko merupakan hasil kerja sama dengan CASA
Spanyol.
Perlu diketahui
pula pesawat produk dalam negeri itu telah mendapat sertifikat uji keselamatan
dan keamanan penerbangan internasional. Artinya, pesawat-pesawat tersebut
diakui dunia internasional atas keamanan dan keselamatan penerbangan.
Peristiwa bersejarah pada 10 Agustus 1995 tersebut awalnya ditujukan sebagai
kado ulang tahun emas (ke-50) kemerdekaan Indonesia.
Namun, dalam
perjalanannya, dengan adanya respons politik dan dukungan masyarakat yang cukup
besar, 10 Agustus dijadikan sebagai tonggak penting perjalanan ilmu
pengetahuan dan teknologi bangsa Indonesia. Presiden Republik Indonesia
melalui Keppres Nomor 71 Tahun 1995 menetapkan 10 Agustus sebagai Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional (Hakteknas). BJ Habibie merupakan sang
maestro pesawat buatan dalam negeri tersebut. Proyek high tech itu akhirnya kandas
berbarengan dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia.
Namun, tidak hanya
teknologi canggih seperti pesawat yang tersingkir. Dalam beberapa minggu ini
saja masyarakat diresahkan dengan hilangnya tempe sebagai makanan rakyat yang
bergizi dan murah meriah. Penyebabnya,
Amerika Serikat sebagai negara penghasil kedelai tengah dilanda kekeringan.
Gagal panen menyebabkan impor kedelai ke Indonesia terganggu.Sebelumnya juga
marak diberitakan soal impor daging, gula, beras, garam, dan sebagainya.
Padahal sumber daya alam Indonesia cukup lengkap. Meski begitu, ketergantungan
akan impor masih tinggi.
Peringatan Hari
Kebangkitan Teknologi Nasional ke-17 tahun ini mengambil tema Inovasi untuk
kemandirian bangsa. Menteri Riset dan Teknologi, Gusti M Hatta, menjelaskan
tema tersebut untuk mengajak masyarakat Indonesia agar bangkit dan membangun
Indonesia yang mandiri.
"Saya inginnya
pangan, energi, dan lainnya bisa disediakan anak bangsa, tidak tergantung dari
negara lain.
Arahnya memang ke sana, menciptakan kemandirian bangsa. Misalnya untuk
mencukupi bahan pangan nasional seperti kedelai, jagung, beras, dan sorgum dari
lumbung nasional, bukan impor," kata Gusti.
Bangkit dan
mandiri
Untuk mewujudkan kemandirian
bangsa dibutuhkan inovasi-inovasi iptek. Menguasai iptek, lanjut Menristek,
akan memberi nilai tambah. Dia mencontohkan selama ini Indonesia dikenal
sebagai penghasil kelapa sawit nomor satu di dunia. Sayangnya, ekspor sawit
Indonesia masih berupa bahan mentah, belum diolah menjadi produk turunannya. Sebut saja harga ikan gabus yang
dijual di Makassar Rp7.000 per kilogram. Namun, ketika diolah menjadi produk
lain, harganya naik menjadi Rp300 ribu.
Menurutnya, seharusnya
semua produk sudah diolah dari hulu ke hilir sebelum diekspor ataupun
dipasarkan. "Sekarang ini pemerintah memiliki program Masterplan
Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Inilah
kesempatan untuk para peneliti melakukan inovasi-inovasi. Lewat MP3EI ini
daerah punya kesempatan membentuk pusat-pusat unggulan," tambah Menristek.
Adapun untuk bidang
akademik, riset-riset di pusat unggulan harus menghasilkan paten, muncul di
publikasi jurnal internasional, dan sebagainya.
" Kita harus
optimistis bahwa itu bisa dilakukan. Jadi, calon-calon pusat unggulan itu harus
dibina. Di Indonesia baru ada pusat unggulan, yakni kelapa sawit di Sumatra
Utara. Rencananya nanti ada pusat unggulan penyakit tropis di Universitas
Airlangga, pusat unggulan tanaman tropis di IPB, dan sebagainya," lanjut
Gusti.
Akibat keterbatasan
dana, Kemenristek melakukan jemput bola untuk mewujudkan pusat unggulan itu.
"Langsung didatangi di daerah-daerah yang berpotensi memiliki pusat
unggulan. Mimpi saya ini setiap daerah bisa memiliki satu pusat unggulan. Bila
susah dicapai bisa kita gerak-kan Sistem Inovasi Daerah (Sida)."
Sida merupakan
program yang diarahkan pada penelitian unggulan di daerah agar menghasilkan
produk berkualitas. Hasil risetnya kemudian diterapkan para pengusaha di
daerah.
Gusti mengaku
kesuksesan atau output program pusat unggulan tersebut belum diukur.
Saat ini, yang terukur baru sebatas input. Namun, lanjutnya, sudah ada
beberapa hasil iptek yang memiliki gambaran hasil positif. Pelaksanaan e-government
di Kabupaten Pekalongan, misalnya, mampu berhemat hingga Rpl4 miliar.
Demikian juga Universitas Sebelas Maret Surakarta mampu berhemat Rp200 juta.
Dukungan Sida
belakangan ini semakin menguat setelah lahirnya Peraturan Bersama Menteri Dalam
Negeri dengan Menteri Riset dan Teknologi Nomor 36/2012 dan Nomor, 03/2012.
Dalam peraturan
itu, badan
litbang daerah semakin diperkuat karena akan menjadi ujung tombak dalam
kebijakan pembangunan daerah. Selama ini badan litbang daerah menginduk
ke Kementerian Dalam Negeri, tetapi secara teknis mereka wajib melaporkan hasil
litbang daerah kepada Kemenristek.
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet.
Sumber bacaan : artikel pada Media Indonesia tgl. 8 Agustus 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar