Oleh : Noer
Fauzi Rachman - Alumnus
Doktor University of California, Berkeley-AS; Direktur Sajogyo Institute-Bogor; dosen Institut Pertanian Bogor.
Konflik agraria
struktural yang dimaksud dalam artikel ini merujuk kepada pertentangan klaim yang
berkepanjangan mengenai suatu bidang tanah, sumber daya alam (SDA), dan
wilayah kepunyaan rakyat dengan badan usaha raksasa yang bergerak dalam bidang
infrastruktur, produksi, ekstraksi, dan konservasi dan pihak-pihak yang
bertentangan tersebut berupaya dan bertindak baik secara langsung maupun tidak
menghilangkan klaim pihak lain. Konflik agraria yang dimaksud dimulai
dengan pemberian izin/hak oleh pejabat publik, termasuk Menteri
Kehutanan, Menteri ESDM (Energi dan Sumber Daya Mineral), Kepala BPN (Badan
Pertanahan Nasional), gubernur, dan bupati, yang memasukkan tanah,. SDA, dan
wilayah hidup kepunyaan masyarakat ke proyek/konsesi badan-badan usaha raksasa
dalam bidang infrastruktur, produksi, ekstraksi, maupun konservasi.
Instrumentasi
hukum, penggunaan kekerasan, kriminalisasi tokoh penduduk, manipulasi,
penipuan, dan pemaksaan persetujuan yang dilakukan secara sistematis dan meluas
sering
mencirikan upaya penghilangan klaim rakyat atau pengalihan penguasaan
atas tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyat setempat ke proyek/konsesi yang
dipunyai badan-badan usaha raksasa termaksud. Itu sekaligus merupakan pemisahan atau
pembatasan akses rakyat terhadap tanah, SDA, dan wilayahnya. Sebaliknya, perlawanan langsung dari rakyat
dan yang difasilitasi organisasi-organisasi gerakan sosial, lembaga swadaya
masyarakat (LSM), maupun elite politik dilakukan untuk menentang peralihan,
penguasaan, pemisahan, atau pembatasan paksa akses rakyat tersebut.
Kasus perkebunan kelapa sawit
Produksi crude
palm oil (CPO) Indonesia terus tumbuh pesat dari tahun ke tahun. Indonesia
merupakan penghasil CPO terbesar di dunia. Menurut pemantauan dari Indonesian
Commercial Newsletter (Juli 2011), produksi CPO meningkat menjadi 21 juta
ton pada 2010 dari tahun sebelumnya 19,4 juta ton. Pada 2011, produksi
diperkirakan naik 4,7% menjadi sekitar 22 juta ton. Sementara itu, total ekspor juga meningkat,
pada 2010 tercatat sekitar 15,65 juta ton, kemudian diperkirakan melonjak i
menjadi 18 juta ton pada 2011. Dari total produksi tersebut diperkirakan, hanya
sekitar 25% (sekitar 5,45 juta ton) yang dikonsumsi pasar domestik. Produksi
CPO sebanyak itu ditopang total luas konsesi perkebunan kelapa sawit yang terus
bertambah, yaitu menjadi 7,9 juta hektare pada 2011 dari 7,5 juta hektare pada
2010.
Data Direktorat
Jenderal Perkebunan menunjukkan luasan perkebunan kelapa sawit di Indonesia 8,1 juta hektare
(Ditjen Perkebunan, 2012). Luas perkebunan tersebut, menurut Sawit Watch
(2012), lebih kecil daripada yang sesungguhnya, yang diperkirakan telah
mencapai 11,5 juta hektare. Perkebunan-perkebunan kelapa sawit sering lebih
luas daripada konsesi legalnya. Dari luasan tersebut, berapa persen partisipasi
petani-petani yang bertanam kelapa sawit di tanah sendiri? Menurut Ditjen
Perkebunan (2012) Kementerian Pertanian, luasan kebun sawit milik petani di
atas 40%, sedangkan menurut Sawit Watch (2012), jumlahnya kurang dari 30%.
Dengan percepatan luasan 400 ribu hektare per tahun, luasan kebun sawit di
Indonesia digenjot pemerintah, perusahaan-perusahaan swasta, dan petani-petani
sawit sehingga dicanangkan mencapai 20 juta hektare pada 2025. Pertanyaannya
ialah dari mana asal-muasal tanah untuk perluasan kebun kelapa sawit itu?
Sangat menarik
untuk memperhatikan data dari Direktuf Pasca-panen dan Pembinaan Usaha Direktorat
Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian Herdradjat Natawidjaja (2012), yang
menyampaikan data dalam satu rapat koordinasi perkebunan berkelanjutan di Kota
Pontianak, Kalimantan Barat, pada 25 Januari 2012. la menyebutkan sekitar 59%
dari 1.000 perusahaan kelapa sawit di seluruh daerah di-Indonesia terlibat
konflik dengan masyarakat terkait dengan lahan. Tim dari Ditjen Perkebunan
sudah mengidentifikasi konflik itu di 22 provinsi dan 143 kabupaten. Total ada
sekitar 591 konflik, dengan urutan pertama banyaknya konflik ditempati
Kalimantan Tengah
dengan 250 kasus,
disusul Sumatra Utara 101 kasus, KalimantanTimur 78 kasus, Kalimantan Barat 77
kasus, dan Kalimantan Selatan 34 kasus.
Akibat-akibat
Masalah dalam
pengadaan tanah skala luas untuk investasi infrastruktur, perkebunan,
pertambangan (Gambar), dan kehutanan, atau dalam istilah lebih memihak 'perampasan
tanah', sebagaimana dilaporkan Komnas HAM dari tahun ke tahun, selalu
menjadi urutan pertama dari pengaduan rakyat. Dalam kacamata HAM,
perampasan tanah, SDA, dan wilayah hidup itu dimaknakan sebagai pelanggaran hak
ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat. Ketika bentrokan antara perusahaan,
aparat keamanan, dan rakyat setempat terjadi, hal itu dapat berurusan dengan
pelanggaran hak sipil dan politik.
Menyempitnya ruang
hidup rakyat, yang diiringi dengan menurunnya kemandirian rakyat untuk memenuhi
kebutuhan hidup dari usaha pertanian, akan menjadi bagian awal transformasi
para petani dengan beragam cara hidup menjadi orang-orang yang tak bertanah,
yang sebagian akan menjadi tenaga kerja upahan dan sebagian lainnya menjadi
penganggur atau setengah penganggur.
Akibat lanjutan
dari konflik agraria ialah meluasnya konflik itu sendiri, dari sekadar
konflik klaim atas tanah, SDA, dan wilayah menjadi konflik-konflik lain.
Konflik agraria yang berkepanjangan menciptakan krisis sosial ekologi,
termasuk yang mendorong penduduk desa bermigrasi ke wilayah-wilayah baru untuk
mendapatkan tanah pertanian baru, atau pergi dan hidup menjadi golongan miskin
kota. Hal itu menjadi sumber masalah baru di kota-kota.
Dalam situasi
konflik agraria yang berkepanjangan, rakyat bertanya mengenai posisi dan peran
pemerintah. Rakyat bisa sampai pada perasaan tidak adanya pemerintah yang
melindungi dan mengayomi. Pada tingkat awal, mereka akan memprotes
pemerintah. Ketika kriminalisasi diberlakukan terhadap mereka, mereka merasa
dimusuhi pemerintah. Pada gilirannya, merosotnya kepercayaan masyarakat
setempat terhadap pemerintah dapat menggerus rasa keindonesiaan para rakyat
yang menjadi korban.
Lebih jauh,
artikulasi konflik agraria dapat membentuk-bentuk konflik lain seperti konflik
antara para petani pemilik asal tanah dan pekerja perkebunan, konflik etnik
antara 'penduduk asli' dan pendatang, bahkan hingga konflik antar kampung/desa.
Studi Institut Titian Perdamaian (2012) menunjukkan, di balik 'konflik-konflik
etnik' dan 'agama' yang besar-besar dalam periode semasa dan setelah transisi
demokrasi (1998-1999), sebagian besar dilator belakangi perebutan tanah, SDA,
dan wilayah hidup.
Quo vadis tim
terpadu penyelesaian konflik agraria?
Ketika
konflik-konflik itu berlangsung dalam intensitas yang tinggi, rakyat mencari
akses ke organisasi gerakan sosial, LSM, DPRD, Badan Pertanahan Nasional,
Kementerian Kehutanan, hingga DPR, Komnas HAM, dll. Dalam sejumlah kasus,
sebagian klaim dan keperluan rakyat korban bisa diurus sesuai dengan kewenangan
dan kapasitas setiap lembaga. Namun tidak demikian halnya untuk kasus-kasus
yang karakteristik konfliknya sudah kronis, kompleksitasnya melibatkan lintas
sektor, dan akibat-akibatnya telah meluas.
Konflik agraria
struktural macam itu dilestarikan
dengan tidak adanya koreksi atas putusan-putusan pejabat public (Menteri
Kehutanan, Kepala Badan Pertanahan Nasional, Menteri ESDM, bupati, dan
gubernur) yang memasukkan tanah, SDA, dan wilayah hidup rakyat ke konsesi badan
usaha raksasa untuk produksi, ekstraksi, maupun konservasi. Kita tahu bahwa
berdasarkan kewenangannya, pejabat publik itu dimotivasi keperluan perolehan
rente. Untuk pertumbuhan ekonomi, mereka melanjutkan dan terus-menerus
memproses pemberian izin/ hak kepada badan-badan usaha/proyek raksasa tersebut.
Kita tahu pula bahwa bila suatu koreksi demikian dilakukan, pejabat-pejabat
publik dapat dituntut balik oleh perusahaan-perusahaan yang konsesinya
dikurangi atau apalagi dibatalkan. Risiko kerugian yang bakal diderita bila
kalah di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) tentu dihindari pejabat publik
yang bersangkutan.
Konflik-konflik
agraraa struktural saat ini sudah bersifat kronis dan berdampak luas. Cara-cara
konvensional sudah tidak bisa diandalkan lagi. Kita saat ini memerlukan
kelembagaan yang memiliki otoritas penuh, lintas sektor kelembagaan
pemerintahan, dan memiliki kapasitas cukup memadai dalam menangani konflik
agraria yang telah, sedang, dan akan terjadi.
Lebih dari itu,
konflik agraria struktural perlu diatasi dengan menyelesaikan akar masalahnya,
yakni ketimpangan agraria yang ditandai dominasi perusahaan-perusahaan raksasa
atas penguasaan tanah dan pengelolaan SDA. Indonesia tidak punya
instrumen hukum dan kebijakan yang membatasi luasan maksimum penguasaan tanah
dan pengelolaan SDA oleh holding company dari perusahaan-perusahaan
kapitalis yang bersifat predatoris. Bila akar masalah itu mau diatasi, komitmen
kita pada reforma agraria perlu diperbarui.
Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono pada rapat kabinet terbatas yang digelar di Kantor Kejaksaan
Agung RI, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, Rabu (25/7) lalu menginstruksikan
pembentukan tim terpadu penyelesaian konflik-konflik agraria. Saat ini,
kerangka acuan yang mencakup ruang lingkup kewenangan hingga cara kerja tim
tersebut sedang dirumuskan Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan
Pengendalian Pembangunan (UKP4) untuk kemudian diproses dan dijalankan Kantor
Kemenko Polhukam.
Quo vadis kelembagaan baru ini?
Keterangan
gambar : sebagai ilustrasi (tambahan) yang diambil dari internet
Sumber
bacaan : artikel pada Media Indonesia
tgl. 6 Agustus 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar